Belajar Demokrasi Dari Pengalaman - PII NTB
News Update
Loading...

Rabu, 01 Juli 2020

Belajar Demokrasi Dari Pengalaman


Minggu 28 Desember 1997 Sdr. Masyhuri, Ketua Umum PB PII 1980-1982, meluncurkan buku "Pak Timur, Menggores Sejarah". Sebuah upaya terpuji dari sekelompok KB PII, sebagai panitia dalam menandai penghargaan jasa Pak Anton Timur Djaelani, pendiri PII (Pelajar Islam Indonesia).


Mungkin tidak salah bahwa semua kader PII, yang sekurang-kurangnya pernah menghadiri peringatan ulang tahun PII, apalagi mereka yang pernah mengikuti sebuah training PII, akan mengenal nama Anton Timur Djaelani dan Yusdi Ghazali. Dua nama yang selalu disebut sebagai pendiri PII.


Demikianlah, saya mengenal nama Anton Timur Djaelani dalam sebuah latihan calon kader PII. Begitu juga diungkapkan oleh Dr. Ir. AM Saefuddin (anggota DPR RI) tentang Anton Timur Djaelani. Nama itu lekat dalam ingatan, bak kata iklan: "ingat PII ingat Anton Timur Djaelani."


Pada saya mencuat rasa bangga, bahwa PII didirikan oleh seorang dengan nama yang biasa: Anton Timur. Anton berasosiasi dengan Barat, modern, Anthony. Sementara Timur yang mula-mula terasa aneh, kosa kata ganti arah dipakai nama, tetapi berasosiasi dengan nama seoarang raja Mongol, gagah perkasa, nomaden penakluk daratan Asia Tengah sampai Bagdag, yaitu Timur Leng.



Setelah latihan kader saya berkesimpulan bahwa PII didirikan oleh seorang modernis yang perkasa. Seorang pahlawan yang dalam berpikir dan perkasa dalam tindakan. Maka PII menjadi organisasi pelajar yang menyebarkan virus kebanggaan pribadi, memiliki rasa percaya diri, melalui training-training yang mendorong peserta untuk berani mengemukakan pendapat. Itulah klaim "PII menyiapkan kader umat dan bangsa" seperti banner dalam buku "Pak Anton Menggores Sejarah."


Training PII yang saya ikuti memberikan pengalaman lain daripada pengalaman belajar formal. Mula-mula aneh, terasa didorong-dorong untuk berpendapat, berbicara. Setelah mau berbicara, meningkat lagi, terdorong untuk adu bicara. Tanpa terasa bukan hanya bicara, tapi lebih banyak untuk menjelaskan pendapat atau berargumen. Ada dorongan-dorongan mencari alasan untuk memperkuat pendapat. Ada dorongan untuk memenangkan perdebatan melalui argumen dan mengalahkan argumen orang lain. Ada dorongan bersaing dan ingin memperoleh pengalaman.


Ada kenikmatan menerima tatapan peserta training yang memusat ke arah mataku. Ada kebanggaan menyertai kesenyapan peserta training menyimak kata-kataku. Kemudian ada persaingan "adu benar" melalui kata-kata. Saya merasa pandai, dulu takut berbicara, sekarang setelah training terasa ringan berbicara.


Inilah training yang melatih berinteraksi sebagai tindakan komunikatif. Training yang memberi manfaat adanya hubungan baik antar sesama manusia, yang menjadi ciri utama dari training-training PII. Berinteraksi dalam tindakan komunikatif dan ajaib, aku merasa lahir menjadi muslim, bangsa Indonesia yang percaya diri, mampu mengendalikan diri dan sepertinya mampu mengendalikan orang lain.


Dan begitulah Anton Timur Djaelani yang hidup dalan imajinasiku, pahlawanku. Mungkin begitu juga pada teman-teman PII yang lain.


Memasuki awal tahun 60-an keceriaan remaja dalam diskusi mulai terasa ada kelianan. Argumen logis saja sepertinya tidak cukup. Kebenaran bukan keluar dari hati urani pribadi lagi. Aku mulai menyesuaikan diri dengan pndapat normatif dari instruktur atau pengurus PII yang lebih tinggi.


Pidato-pidatonya yang menarik dan argumen yang kuat kadang terasa selurus logika hati nuraniku. Aku harus mengatur logika mengikuti alur argumen instruktur. Kalau aku menemukan trek yang sejalan kemudian meluncur mengikuti arus logika instruktur aku merasakan kenikmatan bersatu pendapat dalam fondasi argumen yang kuat. Begitu terjadi keamaan pendapat, aku merasakan ikatan batin, ada kesamaan ide dengan sesame kader PII. Dalam bersaing dan adu pendapat, ada kesediaan untuk menerima dan menghargai pendapat lawan dan merasa diterima dan dihargai.


Kini aku meningkat menjadi anggota kelompok yang kompak, tidak hanya karena argumen logis pikiran. Tetapi ditambah dengan kesamaan pandangan dan ikatan emosional, ikatan batin.


Respon teman-teman, kader atau pengurus pun meningkat. Lebih bersemangat, lebih ramah, dan mulai memperoleh kepercayaan untuk menjadi instruktur.


Instruktur. Rupanya inilah yang membuka jalan ke Jakarta, dan mengantarkan aku bertemu idola, Anton si modernis, Timur Leng-nya PII, yang perkasa.


Pada pertemuan pertama di Menteng Raya saya menikmati sosok yang lebih tinggi, kekar. Muka persegi ditopang rahang yang kokoh. Di bawah alisnya yang tebal legam matanya yang jernih agak menjoronk ke dalam, bersinar tajam seperti mata burung rajawali, lambang negara Paman Sam. Dari bibirnya yang Nampak tebal meluncur kata-kata berwibawa, sederhana, halus, kadang tidak jelas. Tapi segera sirna oleh kekaguman kata-kata yang terasa efisien menopang isi informasi tentang PII dan umat islam dalam revolusi yang belum selesai dari kaitan pancasila dengan nilai-nilai islam.


Aku sudah agak terlatih untuk berpikir dalam trek logika bebrapa jalur. Ketika aku mendengar gumam penolakan dari teman-teman, aku berusaha menelusuri jalan lintasan logika Mas Anton (begitu teman-teman PB menyebutnya) dan alhamdulillah aku menemukan trek itu, sehingga aku memperoleh kedudukan yang nyaman, seperti penumpang motor yang menikmati kelincahan pengemudi di depannya, mengikuti alur pemikiran dan sistematika logis Mas Anton.


Ya saya memanggil Mas Anton, seperti teman-teman di Jakarta Mas Anton, terasa ada kebanggan menyapa pahlawanku dengan sapaan akrab. Mas Anton, aku lebih senang menyebut Mas Anton dari Mas Timur.


Saya sudah naik tingkat lagi, menjadi konseptor karena saya mulai terlibat dalam seminar training. Dalam diskusi-diskusi saya lebih banya mendapat daripada memberi. Kemudian mengalir informasi tentang training. Istilah "group dynamic" mengambang lincah di setiap seminar training. Bermunculan nama-nama A. Mukti Ali, Hariry Hadi, Wartomo, Thaher Sahab, Hasan Babsel dan lain-lain, yang dikaitkan dengan Student Work Camp, Aloka, AFS, luar negeri dan lain-lain. Nama-nama dan sebutan-sebutan itu meluncur dari mulut kader PII, dengan penuh keyakinan dan kebanggaan. Mereka menyebut nama-nama itu untuk memperkuat argumen, sebagaimana sumber rujukan atau reference dari pendapatnya dalam diskusi. Sesuai tradisi santri dalam menyebut perawi hadits.


Kesimpulanku bahwa training PII mempunyai landasan teori ilmiah dan pengalaman dunia modern. Walaupun tidak ada bahan tertulis tetapi informasi lisan itu meyakinkan: teori ilmiah dan pengalaman dunia modern.


Sebagai pemikir aku medapat pelajaran bahwa kecerdasan saja apalagi hanya banyak ngomong sama sekali tidak mencukupi. Maka Entoh Toharudin, Husnie Thamrin, SS Pahu, Hidayat Kusdiman adalah sumber-sumber informasi. Sedang MS Hidayat adalah dokumentator yang menyediakan reference. Tokoh-tokoh lama seperti Ridwan Hasyim, Amir Hamzah, mulai memasuki memori otakku. Tapi Anton Timur Djaelani dan Yusdi Ghazali, tidak pernah bertengger di puncak tumpukan orang yang kukagumi. Sampai aku masuk dalam jajaran PB PII.


Berbekal kepercayaan diri yang aku peroleh dari training-training yang aku ikuti dan kepiawaian sebagai instruktur kemudian kekayaan informasi sebagai kader pemikir aku mulai bisa berdiskusi dengan tokoh-tokoh idolaku. Dan aku mendapat mereka adalah masnusia biasa. Kebesaran mereka yang terekam di bawah sadar tidak menjauhkan diri atau membuat jarak, atau bertolak pinggang melihat aku dibawahnya. Dihadapan mereka terasa ada kebebasan berpendapat, ada rasa persamaan derajat dan ada keakraban persaudaraan.


Di sinilah, dalam pengalaman pergaulan di PII, aku merasakan suasana liberty, egality, friaternity, yang aku kenal dalam pelajran sejarah dunia tentang revolusi Perancis, aku lakoni sndiri. Inilah masyarakat demokratis yang aku temui hanya di PII.


Masyarakat dimana komunikasi antar pribadi berjalan lancar. Perbedaaan pendapat ditolelir dengan keakraban sikap. Otot leher mengencang tetapi segera mengendur diiringi senyum dan sorot mata bersinar ramah. Inilah demokrasi yang menjadi kenyataan, penghayatan yang menjadi amal tindakan. Inilah PII yang bersemangat Anton Timur Djaelani, Wartomo Dwidjojuwono.


Ketika saya menjabat ketua umum, kesempatan dan keperluan bertemu dengan Mas Anton menjadi lembaga. Ada beberapa faktor penyebab, yang pertama Mas Anton pendiri dan mantan keua umum PB PII. Yang kedua adalah KB PII yang punya jabatan paling tinggi, eselon I di pemerintahan. Yang ketiga Mas Anton ketua Yayasan Pelajar Indonesia (YAPI) yang mengusasi dua asrama Jl. Bunga dan Sunan Giri. Ketiga hal tersebut menjadi sumber wibawa dan daya. Yang keempat istri Mas Anton orang Sunda dari Singapura, jadi bisa ngobrol bahasa Sunda. Ini primordial. Inilah pasangan ideal PII-wan-PII-wati. Mas anton yang terkesan pendiam didampingi Ceu Tedja yang ramah ceria.


Keempat faktor tersebut mendekatkan saya dengan Mas Anton dan keluarga. Karena faktor Ceu Tedja, strinya, maka menemui Mas Anton lebih baik di rumah. Apalagi kesempatan makan malamnya.


Kalau urusan formal sudah selesai masuklah pada urusan non-formal, obrolan keluarga. Nah dalam hal ini saya menjadi kecewa. Kritik Ceu Tedja adalah anggota PB PII, terdiri dari remja tua, yang sesungguhnya tidak pantas lagi menjadi pengurus PII, tidak cocok ditinjau dari segala segi. Pelajar itu punya dunia sendiri, yang selalu berbeda dengan pemuda yang digantikannya. Maka anggota pengurus PII sudah tidak lagi memahami ungkapan-ungkapan pelajar, lagu yang disenangi, bintang yang menjadi idola/pujaan, model pakaian yang lagi in. pendeknya tidak tahu lagi dunia pelajar. Itulah serentetan kritik pada PB PII, pada saya yang berusia 30 tahun dan sudah berkeluarga.


Kritik Ceu Tedja terasa lebih menyakitkan daripada kritik tajam mas Anton tentang sikap politik PII yang kaku dan ideologi yang eksklusif dan ekstrem. Di mata mas Anton, saya merasa menjadi personifikasi dari perbedaan, perubahan dan kemunduran demokratisasi PII yang dilahirkannya. Sementara saya merasa menjadi pejuang demokrasi yang sedang bertarung dengan arus pikiran lain yang ekslusif dan otoriter.


Mendengar kritikan mas Anton apalagi Ceu Tedja tentu saja jengkel. Tetapi tuntutan untuk bertemu mas anton selalu mendesak. Saya harus datang lagi dan datang lagi ke rumah Ceu Tedja. Artinya akan mendengar lagi kritik Ceu Tedja tentang tidak pantasnya pengurus PII orang dewasa dan sudah berkeluarga.


Kejengkelan itu rupanya karena kritik ini diperhadapkan dengan kesadaran saya bahwa menjadi pengurus PII –walaupun sudah tua- adalah perjuangan atu jihad. Bagaimana mungkin jihad dibatasi umur, bukankah berjihad harus dilakukkan sepanjang hayat seperti juga menuntut ilmu.


Inilah perbedaan orientasi antara generasi sampai dengan tahun 1960, tepatnya muktamar PII di Cirebon dengan generasi setelah Muktamar Cirebon.


Anggota yang masuk sebelum tahun 1960 disediakan training untuk membahas karakter dan kepribadian inkulsif, terbuka, demokratis. Disamping training, program yang membawa keterbukaan adalah AFS. Kader terbaik PII (kelas 2 SMA) diberikan pengalaman belajardi sekolah amerika dan hidup dalam keluarga amerika. Dibanding dengan seluruh anggota PII, mereka yang mendapat kesempatan ikut program AFS tentu sangat kecil. Tetapi pasti kader ini menempati posisi elit dalam masyarakat PII. Mereka diperkenalkan dengan sikap dibanggakan. Bahasa inggrisnya mengalir bagaikan air pancuran dan pengalamannya ke mancanegara bergengsi tinggi. Para yunior pasti menjadikannya sebagai idola dan PII menjadi organisasi pelajar bergengsi.


Sampai tua sekarang ini pun, mereka tetap menjadi kader kebanggaan PII, seperti ZA Maulani, Tanri Abeng, Arief Rahman, Soegeng Sarjadi, M Dawam Raharjo, Taufik Ismail dan banyak lagi.


Anggota yang masuk sekolah tahun 1960, masih menikmati training dengan group dynamic. Latihan kreatif dan berani mengemukakan pikiran kemudian membangun karakter percaya diri. Tahun 1962 dalam muktamar medan, AFS dinyatakan bubar. Program pengiriman atau pertukaran pelajar dihentikan. Alasan mereka yang dikirim ke sana mengalamai gegar budaya dan pulang ke tanah air membawa dosa, tidak setia lagi pada PII. Inilah simbol perubahan orientasi. Kader PII kini dituntut berjuang, bukan belajar, belajar formal di sekolah tidak boleh menghalangi perjuangan membela islam. Apalagi belajar ke amerika yang "menggoyangkan iman". Anggota PII yang berniat mempelajari islam dan membangun karakter muslim dituntut untuk menjadi pejuang. Karakter yang dibangun bukan lagi inklusivisme dan keterbukaan tetapi bersikap keras kep[ada kafir –asyidda u ala l-kufar. Inilah simbol baru. Dalam waktu singkat simbol demokrasi meleleh cair dan simbol asyidda u ala l-kufar gagah berkibar. Inilah konflik generasi dimana saya terlibat dalam benturan ini.


Sukses sebagai eksponen 66, PII leading dalam KAPPI, seolah merupakan pembenaran orientasi berjuang tersebut, PII adalah alat perjuangan umat. Obsesinya mengganti kedudukan GPII dan masyumi yang dibubarkan bung Karno.


Pernah muncul seberkas kesadaran untuk kembali kegagasan demokratisasi, keterbukaan dan kebanggaan remaja melalui Musyawarah Kader (MUKASI) di pekalongan yang melahirkan gagasan Gerakan Amal Soleh (GAS), gagasan ini dibawa dan dibicarakan serta diterima sebagai garis besar dan strategi kegiatan PII. Gagasan ini melemah dalam perjalanan, mungkin oleh konflik kepengurusan yang berkepanjangan, tetapi boleh jadi karena semangat asyidda u ala l-kufar itu. Keanggotaan pelajar kurang tergarap, bimbingan belajar, bintang pelajar dan Porseni menjadi kurang popular dalam kegiatan PII.


Pegurus PII terdiri dari mahasiswa atau sarjana. Benar kata Ceu Tedja, pengurus yang sudah dewasa itu terlepas dari pergaulan dengan pelajar dan tidak menghayati lagi dunia pelajar yang enteng dan ceria.


Ketika saya menanggapi sikap dan kritikan mas Anton dan Ceu Tedja dengan sikap politik ekslusif, saya merasa jengkel dan marah. Tetapi bawah sadar saya menyimpan kekaguman pada Anton Timur Djaelani, pendiri PII yang modern dan perkasa, yang mengusik rasa jengkel saya. Dalam batin saya, terjadi dialog atau perdebatan ramai, mempergunakan keterampilan dan keberanian yang diperoleh dari Group Dynamic, si eksklusif dengan berani menggugat siapa saja, tidak terkecuali Anton Timur Djaelani, dengan perjuangan membela islam yang terancam. Si eksklusif berargumen bahwa PII adalah organisasi pelajar yang bertanggung jawab pada masalah pelajar, dunia remaja dan usia perkembangan yang penuh pancaroba. Mereka belum dapat dituntut untuk memperjuangkan kemenangan islam, tetapi belajar dalam proses membangun kepribadian yang tangguh, tanggap dan tangkas. PII mempersiapkan kader masa depan menghadapi perubahan yang tak terelakan.


Sementara di sekeliling hingar bingar pertarungan ide, membangun landasan orde baru perubahan dari "revolusi belum selesai" ke ideologi pembangunan. Rektrukturisasi politik dan organisasi politik, menyertai konflik batin dan perdebatan dalam diri saya. Mungkin pula dalam diri kader PII lainnya.


Masa lalu selalu melukis kenangan manis. Kita punya alasan untuk menikmatinya dengan memberi pembenaran. Saya juga ingin menceritakan kebanggaan melawan G30S/PKI, atau gairah demonstrasi dan adu kuat dengan pasukan keamanan. Tetapi hati kecil saya sejak menelurkan gagasan Gerakan Amal Sholeh tahun 1967, telah memihak pada kegiatan membangun rasa percaya diri, karakter terbuka, inklusif dan rahmatan lil alamin. Memihak pada PII sebagai organisasi pelajar dengan sasaran usia muda yang rentan pengaruh. Dan training PII merupakan upaya efektif untuk membangun kepribadian idealis. Kepribadian muslim yang cinta bangsa dengan simbol pertukaran pelajar antar budaya.


Akhirnyasaya menyaksikan kader-kader PII yang memasuki politik di bawah komando Husnie Thmrin. Mereka menjadi pemimpin PPP, A. Rasyid di Aceh, Husein Maskati di Palu, Imansyah di Kalimantan Selatan, SS. Pahu di Jakarta dan banyak lagi. Satu rombongan lagi memasuki dunia professional, seperti Udin Koswara, Uwes Corbey, Mamat Chusowi dan banyak lagi. Dan segolongan lagi yang terus berjuang mengibarkan panji-panji dakwah, seperti AQ Djaelani, AM Fatwa, Edi Raedin, dan sebagainya.


PII mas Anton, periode pertama berbeda dengan PII Hakim Nadja, periode terakhir.


Bagaimana knsep training-training untuk pelajar yang mengubah budaya biasa, masyarakat dan kepemimpinan tradisional, yang menjadi akar masalah yang dipecahkan, yang melahirkan kader-kader siap berdebat adu argumen dengan semangat mencari kebenaran dengan iman yang bergetar-getar, seperti pengalaman saya.


Yang mudah diamati AFS telah hidup kembali. Pertukaran pelajar antar budaya telah berjalan lagi. Bukan program PII lagi. Berlangsung di luar jangkauan program PII, di luar jangkauan pemikiran pengurus PII.


Sajak saya ikut training smpai terlibat dalam penyususnan system training, kemudian meninggalkan PII, saya hanya mengenal tiga jenis training yaitu Leadership Training, mental training dan student work camp. Semua sebuatan dalam istilah Inggris, sedangkan acara training antara lain Expectation, Personal Introduction, Group Discussion, Case Study, Roll Play dan sebagainya.


Istilah inggris ini mengalirkan darah kebanggan dan semangat bersaing. Rasanya teman sekolah yang tidak masuk PII, mendengar dan memandang dengan kagum istilah inggris yang saya ucapkan sepulang dari training rasanya. Ini membuat kagum pada diri sendiri dan percaya diri serta bangga pada PII. Inilah training periode awal PII.


Istilah pemahaman dan karakter PII yang saya peroleh dan saya yakini. Keyakinan ini diperkuat oleh kontak saya dengan sumber teori Group Dynamic, Kurt Lewin dari National Training Laboratory University Of Massachuset**, melalui radio Rust Dilt PhD yang mengajarkan dasar-dasar teori adult education di LSM.


Istilah Inggris! Saya baru menyadari pengertian dan makna yang tidak bias diuraikan secara objektif, setelah saya mengkaji istilah-istilah training periode terakhir yaitu ta'dib, ta'lim, training dan kursus. Istilah Arab, istilah Inggris bukan sekedar terjemahan atau istilah pengganti, tetapi simbol.


Inilah simbol yang menggambarkan makna PII, menyiapkan kader umat dan bangsa.


PII periode awal menggunakan istilah inggris sebagai simbol upaya moderisasi. Membuka pintu ekslusif melihat dan melangkajh secara fisik ke amerika naik kendaraan AFS dan menglangkah secara mental menuju dunia luas, globalisasi. Inilah semangat moderisasi islam. Ini PII mas Anton.


PII periode akhir tahun 1998, mempergunakan istilah Arab. Istilah yang tidak segera dimengerti karena bahasa Arab telah menajdi bahasa ekslusif. Periode dengan ciri melihat ke dalam, terkesan menolak atau menutup pintu interaksi dengan dunia luar. Inlah semangat islamisasi modern. Ini PII Hakam Nadja.


Andaikata saya salah manafsiri dan memahami PII sebagai proses belajar dari pengalaman, saya masih beruntung berkenalan dan menghargai mas Anton Timur Djaelani dan Ceu Tedja, serta teman-teman yang bertemu di PII, yang sekarang menjadi saudara-saudara dekat saya, lebih sekedar sahabat. Sebutlah Sukarna ND, Anwari Suhaimi, Gaos, Gyom di Garut dan banyak lagi. Getar persahabatan itu meluap-luap ketika bertemu Usman Pelly (Medan), Zubair Bakri (Ujung Pandang), Husein Maskatu (Palu, asal Bali), Yahya Mansyur (Surabaya), Thamsur Mares (Yogya), Gozy (alm.) dan Muhadi Udin (Semarang), Alaydrus (Rangkasbitung) dan sebagainya, dan lain-lain lagi.[]



Ditulis Oleh Rusydi Hikmawan (PW PII NTB 2007-2009) pada 27 Oktober 2007

* Tulisan setelah proses editing ini disadur dari Utomo Dananjaya. 2005. Sekolah Gratis. Paramadina: Jakarta. Hal 241. Tulisan ini patut dibaca oleh kader PII NTB, untuk menumbuhkan semangat berislam bersama PII NTB. Utomo Dananjaya adalah Ketua Umum Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia 1966-1969. Lebih lanjut mengenai Mas Tom, sapaan akrabnya, dapat di lihat http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=868, http://id.wikipedia.org/wiki/Pelajar_Islam_Indonesia, dan di harian Kompas 3 Juni 2005.

** Tiga jenis training, Leadership Training, Mental Training, dan Student Work Camp merupakan implementasi dari teori Group Dynamic Kurt Lewin tahun 1930, yang berkembang meallui kajian-kajian di National Training Laboratory selepas perang dunia II. Group dynamic dapat dibedakan sebagai Reference Group Dynamic (kelompok acuan nilai), Task Group Dynamic (kelompok tugas), dan Decision Group Dynamic (kelompok pembuat keputusan atau pemimpin). Jadi berdasar teori ini, kader-kader PII, merumuskan sistem tiga training dalam tiga jenis. Mental Training (latihan untuk memahami nilai-nilai dasar islam, yang kelak menjadi acuan berpikir, berkata dan keterampilan utnuk perubahan sosial), Leadership Training (latihan kader pembuat keputusan bagi para pemimpin).

Share with your friends

DONASI SEKARANG Donasi anda akan digunakan untuk kepentingan dakwah melalui PW PII NTB seperti mendanai kegiatan PII, perpanjang domain dan optimalisasi website. Jazakumullahu Khairan.

7 komentar:

  1. Ass. Mas Rusydi, setuju tidak dengan penjuangan demokrasi?

    BalasHapus
  2. nah loh ka' rusydi giman nih..? demokrasy stuju g'..? oh ya what kind of democrazy dullu nih..?

    BalasHapus
  3. bukannya..dalam islam tidak dikenal istilah demokrasi..?sama g maksudnya kaya' demokrasi yang da di Indonesia ne...?

    BalasHapus
  4. ass. Mas Rusydi, DEMOKRASI kan cacat sejak lhir kok jadi kebanggan yaaah?!!!!! ha.................?

    BalasHapus
  5. demokrasi lagi..demorasi lagi...!!!

    eneg nich.!! cari solusi or topik lain dong!!!

    BalasHapus
  6. Undangan :

    bagi teman-teman yang pengen diskusi masalah keummatan, HTI NTB mengundang pada ahad pekan ke 4 tiap bulan di masjid dinas kimpraswil mataram jalan majapahit (barat taman budaya), pukul 9 pagi. kami tunggu partisipasi anda semua!!!

    buktikan kalo anda punya gigi!!!

    BalasHapus
  7. comment gue diaprove dunkz..

    BalasHapus

STRUKTUR ORGANISASI

ARI SEPTIAWAN

Ketua Umum Pengurus Wilayah Pelajar Islam Indonesia Nusa Tenggara Barat Periode 2023-2025

GINA HAEROUMMAH

Ketua I Bidang Kaderisasi

AHMAD FAHREZI

Ketua II Bidang Pengembangan dan Pemberdyaan Organisasi

ARYA NAQSABANDI

Ketua III Bidang Komunikasi Ummat

ABIYYUZAKI SYUKRON

Sekretaris Umum

IKHSAN MAULANA

Bendahara Umum

UMMARROH ANSYARIAH

Ketua BO KOORWIL PII Wati

SAFIRA RAHMAH

Sekretaris dan Bendahara BO

BAIQ RIA HIDAYATI

Kadiv Kajian Isu Strategis dan Eksternal

Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done