Sekolah dan warna warni cinta sesuatu yang tidak jauh dari kehidupan pelajar. Cinta? Ya cinta. Karena dominasi cinta sebagai penggerak telah terbukti mampu meningkatkan kreatifitas dan kekuatan siapa saja yang mendasari kehidupannya dengan cinta.
Lihat saja kisah Remeo dan Juliet, yang sangup menyerahkan nyawa yang satu-satunya dimiliki untuk sang kekasih. Kisah yang tragis dan naïf juga. Bukan karena hal bodoh, tapi begitulah cinta memberi kekuatan pada kehidupan.
Namun kini bagaimana dengan kita sebagai pelajar? Bukan menafikkan rasa, naluri, dominasi emosi pada sesuatu yang bernama cinta tapi kita pelajar punya sesuatu yang lebih prioritas sebagai jalan hidup, sebagai pilihan untuk memiliki kehidupan yang lebih bermanfaat di kemudian hari.
Kita yakin, cinta dan dunia pendidikan memeliki korelasi yang saling membangun dan mengisi. Mau bukti? Kenal Stephen Hawking?sang ilmuwan fisika yang saat ini masih duduk manis di kursi roda listriknya. Seandainya ia tidak bertemu atau –dengan kata yang lebih indah dan romantis- menikahi istrinya Marine, tentu ia (Hawking) tidak memiliki semangat dalam menelaah fisika lebih jauh lagi hingga menemukan teori fenomenal saat ini.
Kekurangan fisik tidak menghalanginya untuk memepersembahkan ilmu pada manusia, jelas itu karena cinta. Cinta sang istri dan cintanya pada ilmu.
Berprestasi Dengan Mencinta Ilmu
Sekarang saatnya kita lebih serius berbicara prestasi. Prestasi? Kayaknya mimpi deh. Gak, prestasi itu bukan wilayah abu-abu, bukan berbicara mimpi tapi berbicara tentang tekad dan keseriusan untuk meraihnya.
Prestasi akademik, hmm… prestasi yang lebih dekat dengan nilai-nilai akademik dan terukur. Juara kelas kah, juara olimpiade sains, juara cerdas cermat. Ya seperti itu prestasi akademik. Prestasi non-akademik, hmm… prestasi di luar kegiatan proses belajar dan mengajar di bangku sekolah. Juara panjat pinang kah, juara modif motor atau juara kebut argopuro (salam lestari!).
Yang jelas kedua jenis pretasi tersebut memiliki andil dalam merubah hidup kita selanjutnya. Dengan prestasi akademik, kita akan lebih bergairah di dunia analisis, sains akademik. Dengan prstasi non-akademik, kita akan lebih kreatif memaknai dan menjalani hidup, jelas kedua-danya penting, tidak saling menafikan pada akhirnya. Itulah prestasi.
Meraihnya pun tidak hanya menandalkan tangan dingin, tetapi tetap dengan otak. Bagian tubuh yang sangat kecil, tidak lebih besar dari kepalan tangan, di otak kita inilah yang mempengaruhi arah prestasi kita. Hanya otak? Ya, hanya otak. Otak lah yang mengarahkan kreatifitas dan nalar analitis kita. Artinya otak harus di latih. Hmm..
Sebagai pelajar, dunia ilmu begitu dekat dengan kita. Sejatinya kita (pelajar) lah yang lebih agresif menuntut ilmu, mendalami pemahaman kita tentang sesuatu. Fasilitas sudah begitu luas terbuka untuk kita, jadi tidak ada alasan untuk tidak tahu. Teori fisika, rumus kimia, kajian sosial, telaah bahasa, kemurnian agama, kebenaran sejarah, gejala sosiologi pun bisa kita temui di internet. Lebih murah, gratisannya, ada di perpustakaan. Gampang kan? Masalahnya hanya ada pada kita, maukah kita surfing internet, walking to perpustakaan?
Cintalah jawabannya. Cinta yang akan menggerakkan kita. Bila otak kita tidak mampu mencerna kemanfaatan, kemaslahatan, urgensitas sebuah ilmu maka kita pun akan diam di tempat. Tidak banyak bergerak untuk meraihnya. Naïf memang, ketika Romeo mati karena racun "cinta"nya dan Juliet mengikutinya, kenapa kita sebagai pelajar yang memiliki otak tidak mampu bergerak berdasar cinta kita pada kebenaran ilmu.
Memang cinta telah menjadi sisi yang terlupakan saat ini. Tidak ada cinta yang hakiki, tidak ada cinta yang mampu menggerakkan otak kita lagi. Kemanakah cinta itu kita cari? Jawabannya kembali ke diri kita masing-masing. Marilah kita bercinta dengan kebenaran imu, kebenaran hakiki, cinta untuk memberikan sesuatu yang terbaik untuk orang tercinta di sekitar kita.
Cinta ku pada ilmu, para penggenggam ilmu
_______________
Diterbitkan tanggal 4 Januari 2008 - Dipublikasikan ulang 1 Juli 2020 - Semoga bermanfaat