PII NTB: pendidikan
News Update
Loading...
Tampilkan postingan dengan label pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pendidikan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 01 Juli 2020

POST MORTEM PURITAS KADER


Seperti dalam sejarah mengkristalnya sistem kaderisasi PII, ta’dib turut serta mengawal proses kaderisasi. Sejak masa perintisan (1952-1958) hingga masa rekonstruksi (1991-1996) dan dengan dilakasanakannya Lokakarya Instruktur Nasional (LIN) tahun 1998, berdasarkan amanah Muknas ke 21 pada pengurus besar pada masa tersebut, maka dihasilkanlah konsep final ta’dib PII sebagai sistem kaderisasi yang baru.

Sejarah ta’dib PII memang bukan sejarah singkat, terlalu banyak tokoh-tokoh yang berada di belakang sejarah tersebut. Hingga kini, bagi PII ta’dib menjadi kitab kedua setelah quran dan hadits dalam menjalankan kerja dakwahnya. Menjadi kitab tentu karena ta’dib, buku induk kaderisasi, berdasarkan Anggaran Dasar PII baba VI Sistem Kaderisasi pasal 9 poin pertama ini merupakan ejawantahan quran dan hadits pula.

Ejawantahan tersebut memang menjadi konsepsi dasar ta’dib itu sendiri, bagaimana cara melihat proses kaderisasi untuk memperjuangkan Islam oleh PII. Bukan sebuah mimpi muluk memang ketika “Kesempurnaan pendidikan yang sesuai dengan islam bagi seluruh bangsa Indonesia dan ummat manusia” ingin direalisasikan. Tujuan tersebut merupakan keyakinan PII akan terbentuknya masyarakat berperadaban yang dibentuk melalui pendidikan dan tentunya PII harus bersikap realistis, berperan sesuai dengan fitrahnya sebagai organisasi kader (kaderisasi sebagai aktivitas ta’dib).

Anggota memang bukan hasil akhir. Pada tataran praktis memang kaderisasi untuk menghadirkan anggota baru yang akan berpartisipasi aktif dalam kegiatan PII, seperti dalam Anggaran Rumah Tangga Bab I Keanggotaan pasal 1, anggota PII merupakan pelajar yang aktif mengikuti kegiatan yang dibina oleh PII dan atau telah mengikuti proses kaderisasi PII. Inilah kenapa penulis menggunakan kata “menghadirkan” bukan “mencetak” anggota. menurut hemat penulis, kata menghadirkan lebih bersifat keikhlasan untuk turut serta dan tanpa pemaksaan, ini pula yang menjadi cikal bakal akan lahirnya kemurnian kader PII.

Pada tahapan hakekat, kata kader yang sepatutnya digunakan. Ini tentu karena kader merupakan seseorang yang dipersiapkan untuk mengemban tugas masa dengan dengan kemampuan, kualitas dan kualifikasi tertentu. Kader menjadi kekuatan inti organisasi dan ummat Islam untuk menjadi pelopor, penggerak dan penjaga misi perjuangan guna mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Idealitas kader merupakan konseptualisasi dan kristalisasi dari pemahaman tentang konsep manusia dan tujuan hidupnya. Idealitas tersebut akan menjadi titik pencapaian proses pendidikan yang ditempuh melalui proses pelaksanaan ta’dib.

Bukan sekedar keanggotaan yang harus dicapai, tapi sosok kader ideal pun menjadi profil paripurna atas konstruksi dan kinerja yang harus dimiliki oleh seseorang yang menempuh proses ta’dib secara menyeluruh memang untuk menegasikan kemapanan proses kaderisasi tersebut. Bila merasa cukup hanya dengan batra, tidak diikuti dengan intra atau advantra artinya anggota tersebut telah memutus kesempurnaan ta’dib yang seharusnya dilakukannya. Artinya ada kemapanan, yang dipikir cukup oleh anggota tersebut dalam menjalankan proses kaderisasi. Tentu hal ini menjadi bukti telah matinya (mortem) kemurnian anggota.

Banyak hal yang menjadi terjadinya hal tersebut. Ini tidak terlepas dari perekrutan pra dan pasca training yang dilakukan. Ada lingkaran yang terputus dalam merealisasikan ta’dib. Perekrutan dari anggota tunas, follow up setelah dan sebelum training sering diabaikan. Kursus dan taklim menjadi bagian kegiatan ta’dib yang tak pernah terjadi dan sepi dari perbincangan.

Tetesan keringat dan darah para penyusun ta’dib telah disia-siakan. Artinya ada orientasi ta’dib telah dinihilkan. Dikemanakan orientasi iman dan takwa serta orientasi keummatan selama ini? ini memang menjadi hal yang tidak menarik diperbincangkan saat ini. Menghayati orientasi ta’dib, benar juga apa yang ditulis Quraish Shihab dalam Membumikan al Quran-nya, “Perubahan dalam terlaksana akibat pemahaman dan penghayatan nilai-nilai al quran….”

Tentu bukan hanya cita-cita Quraish, PII pun mendambakan “Perubahan yang terjadi pada seseorang harus diwujudkan dalam suatu landasan yang kokoh serta berkaitan erat dengannya, sehingga perubahan yang terjadi pada dirinya itu menciptakan arus, gelombang, atau paling tidak sedikit riak yang menyentuh orang-orang lain,” tutur Quraish. semoga dengan kepemimpinan PII nasional yang telah terpilih kini mampu membangun kemurnian kader yang lama tertidur.

_______________
Diterbitkan 5 Agustus 2008 - diterbitkan ulang 1 Juli 2020 - Semoga bermanfaat

Apa sih Group Dynamic Itu?


Dalam proses pelaksanaan training sering kita dengar group dynamic. pendekatan training ini dianggap paripurna karena tidak hanya pendekatan nilai-nilai trasenden atau pengajaran (andragogi) an sih, tapi bagaimana memadukan dua pendekatan tersebut menjadi lebih sempurna.

Andragogi, Pendidikan Untuk Pendewasaan



Pada awalnya, pengetahuan tentang pendidikan (belajar) banyak diambil dari studi-studi yang dilakukan terhadap anak-anak dan hewan dalam belajar. Dari sini lahirlah istilah “paedagogi” yang berasal dari kata dalam bahasa Yunani “paid” yang berarti anak-anak, dan “agogos” yang berarti memimpin. Dengan demikian, paedagogi secara khusus diartikan sebagai seni mengajar anak-anak. Namun pada perkembangannya, istilah paedagogi sering diartikan sebagai ilmu dan seni mengajar/mendidik secara umum.

Sedangkan subyek pendidikan yang dihadapi sekarang adalah orang dewasa yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan anak-anak dalam belajar. Metode belajar yang diterapkan pada orang dewasa hendaknya membantu mereka untuk belajar. Pendekatan ini kemudian disebut dengan “andragogi” yang berasal dari kata “andra” yang berarti orang dewasa. Istilah tersebut pertama kali dicetuskan oleh Alexander Kapp pada tahun 1883 untuk menjelaskan teori pendidikan dari Plato. 

Untuk dapat lebih memperjelas pemahaman mengenai andragogi, dapat dilihat pada perbedaan mendasar antara asumsi yang dibangun dalam andragogi dengan yang  dibangun dalam paedagogi, berikut ini:

A.  Konsep Diri

Konsep diri seorang anak-anak adalah bahwa dirinya tergantung pada orang lain. Namun pada saat ia menjadi dewasa, ia menjadi semakin sadar dan merasa bahwa ia dapat membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Di samping itu, orang dewasa biasanya telah memiliki rasa tanggung jawab, baik terhadap dirinya mereka sendiri maupun terhadap orang lain. Perubahan konsep diri ini berimplikasi pada hubungan antara pendidik dengan peserta didik. Pada andragogi, hubungan tersebut lebih bersifat saling membantu. Sementara pada paedagogi, hubungan tersebut lebih didominasi (ditentukan) oleh pendidik dan bersifat mengatur peserta didik.

B.  Pengalaman

Dari sisi pengalaman, orang dewasa lebih banyak mempunyai pengalaman daripada anak-anak. Oleh karena itu, dalam andragogi, pengalaman dinilai sebagai sumber belajar yang cukup kaya. Untuk dapat mendayagunakan pengalaman sebagai bahan belajar maka dalam proses pembelajaran digunakan teknik komunikasi dua arah, seperti: diskusi, permainan, simulasi, dan lain-lain. Sementara dalam paedagogi cenderung pada komunikasi searah, semacam: ceramah, kuliah, indoktrinasi, menguasai bacaan, dan sebagainya. Hal ini tidak lepas dari karakter anak-anak yang masih sedikit pengalaman sehingga perlu ‘diisi’ pengalaman baru oleh pendidik dengan cara di atas.

C.  Arah Belajar

Pendidikan sering dipandang sebagai upaya mempersiapkan peserta didik untuk masa depan. Pada andragogi, belajar lebih dipandang sebagai pemecahan masalah daripada pemberian pelajaran. Orientasinya adalah penemuan situasi yang lebih baik ataupun pengembangan terhadap kenyataan saat ini. Jadi, belajar dalam andragogi adalah memecahkan persoalan ‘hari ini’. Sedangkan dalam pada paedagogi, belajar lebih merupakan penyimpulan informasi yang dipelajari sekarang namun digunakan pada suatu hari kelak (bersifat jangka panjang). Itulah sebabnya ketika masih anak-anak, kita tidak pernah tahu untuk apa kita harus belajar matematika, bahasa, sejarah, agama, dan lain-lain. Kita baru merasakan manfaatnya setelah kita dewasa.

D.  Kesiapan Untuk Belajar

Perbedaan mendasar yang lain adalah dalam proses pemilihan isi/materi pelajaran. Dalam andragogi, peserta didik yang memutuskan apakah yang hendak dipelajari sesuai dengan kebutuhannya. Dengan demikian, tugas pendidik dalam andragogi adalah sebagai fasilitator, yaitu: mengidentifikasi kebutuhan peserta didik, serta membentuk program dan kelompok belajar sesuai minat peserta didik. Sedangkan dalam paedagogi, pendidik yang memutuskan isi pelajaran dan bertanggung jawab terhadap proses pemilihan isi pelajaran serta waktu kapan diajarkan.


Dalam perkembangannya, muncul berbagai kritik mengenai andragogi sebagai sebuah teori belajar. Kritikan yang muncul sering bermuara pada keraguan  apakah andragogi hanya untuk orang dewasa, ataukah untuk manusia secara umum. Hal ini bermula dari ketidaktegasan Knowles[1], selaku tokoh utama dalam gagasan andragogi, dalam mendefinisikan peserta didik. Ketidaktegasan tersebut disebabkan oleh keyakinannya bahwa andragogi lebih dari sekedar membantu orang dewasa belajar, tetapi andragogi juga dapat membantu bagaimana manusia belajar. Oleh karena itu, dia beranggapan bahwa andragogi memiliki implikasi yang baik dalam pendidikan anak-anak, remaja, maupun orang dewasa. Dalam hal ini, Pratt[2] menyatakan bahwa andragogi bukanlah merupakan teori pendidikan. Andragogi lebih bersifat preskriptif, yang mencoba merinci peranan peserta didik dan karakteristik pengajaran yang diharapkan. Dia juga menyampaikan bahayanya melibatkan pemikiran yang bersandar pada filsafat ke dalam bangunan teori yang menuntut adanya pengujian secara empirik. Munculnya kritik-kritik tersebut pada akhirnya mengarahkan para pemikir masalah pendidikan untuk tidak mempertentangkan antara andragogi dengan paedagogi. Sebagian ahli mencoba menggolongkannya sebagai teori belajar non-partisipatif dan teori belajar partisipatif (term ini nampaknya dipakai dalam Ta`dib- penulis). Ada juga yang mencoba mengklasifikasikan masalah tersebut dengan pendidikan yang berpusat pada isi (materi belajar) dan pendidikan yang berpusat pada peserta.Terlepas dari perdebatan di atas, asumsi-asumsi yang dibangun dalam andragogi akan banyak membantu kita memahami bagaimana suatu proses perubahan dikelola dalam suatu pelatihan dan pendidikan formal.

Oleh: Rusydi Hikamawan (PW PII NTB 2007-2009)



[1] ibid, hal 210

[2] DD. Pratt dalam ibid

Malcolm Knowles dikutip dalam M. Soedomo, Pendidikan Luar Sekolah Ke Arah Pengembangan Sistem Belajar Masyarakat, Direktorat Jemderal Pendidikan Tinggi-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Jakarta, 1989, hal 208-210

Senin, 29 Juni 2020

Kaki Zionis di Kepala Yahudi


Sifat lainnya dari Zionisme adalah kepercayaannya kepada tema-tema propaganda palsu, mungkin yang paling penting adalah semboyan "sebuah tanah tanpa manusia untuk seorang manusia tanpa tanah." Dengan kata lain, Palestina, "tanah tanpa manusia" harus diberikan kepada orang-orang Yahudi, "manusia tanpa tanah."

Kamis, 25 Juni 2020

Silaturahim Yang Terlupakan - Refleksi Perjuangan


PII sebagai organisasi non-profit dan tidak beraviliasi dengan oknum pragmatis manapun, tentu memerlukan dana segar untuk keberlangsungan dakwahnya. Lalu dari manakah dana itu? teringat komentar kanda Burhan said, 'tidak pernah ada ceritanya, usaha yang dijalanin pengurus dapat berjalan lancar selama masih dalam kepengurusan, biasanya usaha tersebut mandek’. Komentar tersebut tentu ada alasannya. Kanda Burhan Said yang merupakan wirausahawan yang sekarang mencoba membangun ekonomi umat dengan metode network muslimnya telah banyak melihat realita pengurus PII di NTB yang jatuh bangun dengan usaha mandirinya, selain dari pengalaman beliau sendiri yang menjadi PW PII Irian Jaya selama 9 tahun. Memang sudah banyak usaha mandiri yang coba dijalankan oleh pengurus, seperti misalnya toko busana muslim, sabun sirih, kaligrafi, dompet pulsa, dan loper Koran, tidak banyak dana segar yang diperoleh dari usaha-usaha tersebut karena lebih banyak sifatnya tidak berkesinambungan dan dilakukan pada sisa-sisa waktu pengurus yang limit. Meskipun demikian, dana yang sedikit itu, cukup melonggarkan kas bendahara yang kadang-kadang minus.

Rapat setiap hari,mungkin itulah pelabelan anak-anak PII di mata orang tua maupun dari sesama aktivis dari gerakan lain. Memang apa yang dilakukan anak PII sampai harus rapat setiap hari? “Paling hanya training. Training dan training. Kapan sih anak-anak PII mikirin masalah umat” itu mungkin salah satu komentar dari orang luar yang melihat aktivitas PII secara sekilas. Tapi dibalik esensi rapat setiap hari dan training itu, menyebabkan kekeluargaan di kalangan PII sangat tinggi. Apalagi dengan adanya ‘Pengurus mengurusi Pengurus’, kedekatan itu semakin terasa. 

Itulah yang kadang-kadang menjadi moment yang tak terlupakan dari generasi-generasi PII, terutama PII NTB yang sekarang memasuki angkatan ke-21. Angkatan 0911 (tahun 2009-2011). Waktu terus berjalan, kelak moment ini akan dibagikan ke generasi berikutnya (amin). Tapi kadang kala, moment atau catatan sejarah itu terputus karena orang-orang dalam sejarah itu hilang atau tidak pernah didatangi untuk mencari bukti sejarah, padahal orang-orang tersebut (Keluarga Besar muda maupun tua) tentu memiliki banyak cerita, dan yang lebih penting adalah mereka masih memiliki semangat atau spirit perjuangan “tandang ke gelanggang walau seorang” yang mungkin sekarang belum sepenuhnya dijiwai oleh pengurus.

Belakangan ini, terjadi fenomena kelurga besar (KB) dikunjungi ketika akan berpamitan untuk melakukan perjalanan atau kegiatan, sekedar memperoleh uang jajan selama mengikuti atau mengadakan training. KB yang tidak sempat didatangi mengeluh, ‘kenapa saya tidak pernah didatangi, apakah adek-adek itu sudah melupakan saya’. Sedangkan KB yang sering didatangi nerkata ‘adek-adek ini datang kalau ada kegiatan saja’. Tapi, terlepas dari semua itu, PII merupakan suatu ‘keluarga’, tidak apalah diomelin, yang jelas kita tahu, para KB itu tetap sayang dengan PII, sehingga temen-teman PII jika ke KB lebih sering dengan wajah innocent.

Sebenarnya spirit dan cerita perjuangan para KB (apalagi pada ‘masa-masa susah’) dan omelan mereka jauh lebih berharga dari sekedar uang jajan atau uang permen yang diberikan, karena yang mereka cerikan adalah pelajaran hidup yang tidak akan didapatkan di bangku sekolah atau kuliah. Ada lebih dari 100 nama yang ada dalam list nama-nama KB di NTB, tapi 80% jejaknya tidak diketahui, sekarang akan digalakkan kembali untuk melakukan silaturahim dengan KB2 tersebut, sehingga ‘Keluarga Besar’ ini dapat berkumpul lagi dalam satu barisan menjadi salah satu mata rantai perjuangan umat.

______
Repost: Ditullis pada tanggal 21 Juli 2010 - PW PII NTB 2009-2011

PII oh PII - Puisi



PII oh PII...
PII-ku kini mati suri
Orang tuanya telah lama ditembak mati
Abang- abangnya telah lama pergi
Saudari- saudarinya entah kemana pergi menutup diri

PII oh PII...
PII-ku kini tak sanggup berdiri
Tongkat rapuhnya tak kuat menopang lagi
Tubuhnya kurus, sakit menggerogoti
Hanya sedikit senyum di antara tulang pipi

PII oh PII..
Pesan sang Jendral dulu membuatmu berapi-api

Kau lepas pena, tak peduli usia, kau ganyang PKI

Berjuang siang malam tak peduli gertakan ABRI

Saat itu gerakmu merayap sambil sembunyi-sembunyi

Sekarang... kapankah kau kan bangkit lagi?

Kembali... lantangkan suara dan kembali berlari

Seperti munculnya mentari di pagi hari

Membawa kesejukan di tiap bilik hati yang telah lama mati

Kembali... mengejar Ridho Illahi -'


Ditulis tanggal 03-10-2010 Oleh: Yunda Siti Ala

Rabu, 24 Juni 2020

Karakter Para Ilmuan Muslim


Sahabat imsa sekalian, pernah dengar istilah pendidikan karakter? Kalau sahabat imsa sekalian belum pernah dengar maka harus segera dicari tahu, karena ternyata Negara kita ini sedang mencoba membangun system pendidikan yang berbasis pada pendidikan karakter. Jadi jangan sampai sahabat imsa sekalian ketinggalan untuk mengetahui apa itu pendidikan karakter.

Untuk sedikit mengobati bagi yang penasaran, intinya pendidikan karakter itu adalah usaha untuk membangun pribadi-pribadi yang berkarakter melalui system pendidikan. Adapun yang dimaksud dengan karakter itu adalah sesuatu yang mempuunyai kualitas positif, seperti peduli, adil, jujur, hormat dan bertanggung jawab. Kualitas-kualitas itu dapat disebut dengan karakter yang mencerminkan kualitas positif yang dilakukan manusia itu sendiri.

Tema pendidikan karakter yang dirancang saat ini adalah “pendidikan karakter sebagai pilar kebangkitan bangsa”. Nah, tepat sekali sahabat imsa sekalian bahwa tanggal 20 mei nanti itu akan diperingati sebagai hari kebangkitan nasional. Tentu saja apabila kita ingin bangkit kembali maka yang harus diperbaiki terlebih dahulu adalah pembangunan kembali moral bangsa ini yang sudah mulai roboh melalui pendidikan moral dan karakter bangsa ini.

Kita, kaum muslimin pernah memiliki sejarah yang sangat gemilang dalam perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Sejarah yang diakui oleh seluruh ummat manusia sebagai peradaban tertinggi yang pernah tercapai. Misalnya saja kaum muslimin telah mampu menggunakan minyak, lilin dan aspal yang membuat negeri Baghdad menjadi terang benderang saat orang-orang di Eropa masih berada dalam kegelapan.

Peradaban yang pernah tercapai oleh kaum muslimin ini bukanlah usaha yang terjadi begitu saja, ini adalah usaha yang dibangun dari generasi ke generasi yang dibangun berdasarkan etika-etika di dalam Islam dan keyakinan akan kekuasaaan Allah yang telah menjadikan kaum muslimin sebagai ummat terbaik (Khairu ummah).

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…” (QS Ali Imran:110).

Keimanan pada Allah dan karakter yang menyuruh pada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar inilah yang kemudian menjadi bagian dari penyebab majunya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam Islam. Ilmu pengetahuan ini pun digunakan untuk kepentingan hajat hidup orang banyak, dibangun dari generasi ke generasi di mana orang-orang hidup dengan tenang dan tentram. Sehingga perkembangan ilmu dan teknologi pun menjadi sangat mungkin.

Para ilmuan-ilmuan islam dan pemimpin-pemimpin kaum muslimin bukanlah orang yang menggunakal ilmu pengetahuannya secara sembarangan dan seenaknya saja, sebab sikap seperti ini adalah sikap para dictator dan para penjajah. Seperti yang dilakukan oleh Negara-negera penjajah yang ada sekarang. Karena para ulama kita tak sudi untuk meniru dan tertarik dengan jalannya orang-orang kafir, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah dalam al-quran.

“Janganlah sekali-kali kamu terperdaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri.” (QS Ali Imran:196)

Kaum muslimin di masa itu tidaklah tertipu dengan kebebasan yang ada pada orang-orang kafir, mereka memilih untuk mengedepankan hak-hak Allah. Dibandingkan dengan saat ini banyak kaum muslimin lebih memilih untuk mengikuti gaya-gaya yang dipelopori oleh orang-orang kafir. Sehingga tak jarang jika di sekolah kita masih melihat siswi-siswi yang tak menutup auratnya bahkan dengan sengaja memamerkannya dan itu tidak dipermasalahkan, kalau sudah seperti ini apa gunanya lagi pendidikan karakter?? Karakter seperti apa yang ingin kita bangun??

Membangun Rumah Untuk Peradaban


Melihat dinamika organisasi belakangan ini, orang yang berfikir pun mulai mengutarakan pertanyaan. Pertanyaan yang timbul mengenai PII Wati misalnya apakah eksistensi PII Wati sekarang masih dibutuhkan, untuk apa PII Wati itu masih dipertahankan dalam bentuk yang otonom, kenapa tidak disatukan saja dengan badan induk, mengapa kader PII Wati sedikit, dan sebagainya. Berikut ini merupakan hasil diskusi untuk mengkaji pertanyaan-pertanyaan diatas.

Secara tidak langsung, kegiatan–kegiatan di PII Wati serupa dengan kegiatan-kegiatan di BI, lagipula ketika dibentuk pertama kali tujuan dari PII Wati adalah mengisi kekosongan kader PII wan yang banyak di bui (ini pun masih harus dikaji kembali). Lalu ada pula yang mengatakan pemisahan seperti ini merupakan pengaruh dari faham feminisme.

Sekarang ini PII Wati tidak memiliki kegiatan yang populis seperti misalnya brigade dengan kegiatan intelegennya dan BI dengan kaderisasinya yang merupakan jantung dari kegiatan PII. Untuk PII Wati sendiri kegiatan kursus menyulam, memasak, atau menjahit sudah bukan lagi kegiatan yang populis. Salah satu masalah di PII Wati adalah belum bisa mengemas kursus menjadi sesuatu yang populis. Mungkin ini salah satu kekurangan kader PII wati yang ada di kepengurusan yang belum bisa menyaingi akselerasi zaman yang menuntut perempuan menjadi semakin praktis. Selain itu masalah utama yang ada di pii adalah masalah eksistensi dan juga misi. Masih banyak kader PII di daerah atau wilayah atau bahkan PB yang tidak paham eksistensi PII Wati dan mengapa PII Wati itu harus ada.

PII sebagai organisasi yang sangat peduli dengan pendidikan, paham betul bahwa fungsi pendidikan yang sebenarnya itu ada di keluarga. Pendidikan tidak bisa hanya diserahkan pada sekolah karena sekolah pun memiliki banyak kekurangan.

Sekarang ini sedang terjadi reduksi fungsi keluarga. Keluarga diserang dari segala arah dengan berbagai macam paham. Dalam kondisi ini peran perempuan dalam keluarga sangat penting. Jika dalam suatu keluarga istri tidak benar, bisa menyebabkan suami dan anaknya menjadi tidak benar. Jika sang anak kelak membangun keluarga, keluarga berikutnya pun menjadi tidak benar juga. Sehingga terbentuklah masyarakat atau peradaban yang tidak benar. Dari segi ini saja kita bisa menyimpulkan bahwa jika perempuan tidak benar, bisa menghancurkan masyarakat. Maka untuk membentuk peradaban yang benar, perempuan harus benar terlebih dahulu.

Ada yang mengatakan laki-laki pun bisa mendidik. Padahal fungsi pendidik itu lebih utama di perempuan. Jika memang lelaki juga bisa mendidik dengan kelembutan seperti perempuan, Allah yang Maha Besar tidak perlu menciptakan perempuan. Karena Allah pun bisa jika ingin mennciptakan laki-laki yang dilengkapi dengan rahim untuk melahirkan dan kemudian membesarkan.
PII Wati berusaha membina dan menyiapkan pelajar putri untuk siap menjadi seoarang muslimah pemimpin. Kita ingin membentuk kader muslimah yang cerdas, sehingga dia tahu apa yang terbaik buat keluarganya. Tapi sekarang kecerdasan hanya dinilai dari kepintaran atau jenjang sekolah yang ditempuh, dan ini berimplikasi pada semakin banyaknya wanita karir yang lebih mengutamakan karir daripada keluarga. Padahal kan arti cerdas itu sendiri berkaitan dengan mengetahui sesuatu yang benar. Contohnya saja pada zaman rasulullah, Abu Jahal sebelumnya memiliki panggilan Abu Al Hakam atau bapak kebijakan, karena paling pintar. Tapi Al Quran mengatakan panggilah ia dengan Abu Jahal atau bapak kebodohan karena kebodohannya yang tidak mau menerima kebenaran. Jika si Ibu cerdas, dia tahu bagaimana membesarkan anak. Si perempuan juga harus paham untuk apa dia menikah dan apa yang bisa dia lakukan bagi Islam. Tapi tidak ada sekolah yang membahas itu dalam kurikulumnya. Nah PII sebagai organisasi pembinaan, ketika sekolah formal tidak bisa diharapkan, disitulah PII harusnya tampil. Dalam kursus-kursus PII Wati kita ingin memasukkan konsep-konsep itu.

Selain itu mungkin konsep kursus untuk PII Wati harus diluruskan, karena kursus sebenarnya merupakan tambahan skill, dan ini tidak lagi berada dalam ranah skill atau keterampilan, tetapi ideologi, idealisme yang harusnya dimiliki setiap perempuan. Kita ingin memiliki ideologi sebagai seorang perempuan, kita ingin membangun rumah untuk peradaban. Ini merupakan misi PII Wati sehingga diharapkan setiap kader menginternalisasi ide ini dan menyampaikan kepada muslimah yang lain.

Memang masih banyak yang harus dibenah, masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Tetapi harapan selalu ada. Rumah untuk peradaban.

~ Yunda Siti Ala - 14-11-2011

Pendidikan Anak Ala Lukmanul Hakim (QS Lukman 13-17)



Membina akhlak merupakan bagian yang sangat penting dalam tujuan Pendidikan, baik itu berupa pendidikan agama maupun pendidikan yang umum, untuk mengembangkan potensi umat agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Disamping itu, banyaknya tindak kriminal yang dilakukan para remaja disinyalir sebagai akibat dari tidak berhasilnya Pembinaan Akhlaq dan Budi Pekerti pada siswa. Kegagalam pembina akhlaq akan menimbulkan masalah yang sangat besar, bukan saja pada kehidupan bangsa saat ini tetapi juga masa yang akan datang.

Untuk itu harus ada upaya pembinaan terhadap anak di sekolah ataupun di luar sekolah, baik itu oleh orang tua atau guru sebagai pendidik, Upaya tersebut agar dilakukan dalam hubungan kerjasama yang harmonis, baik memalui pendidikan dalam keluarga maupun pendidikan (pembinaan mental) yang ada di masyarakat. Namun pada kenyataannya terlihat, tidak sedikit kendala untuk mewujudkan kerjasama semacam itu baik dikarenakan tingkatan pendidikan orang tua yang rendah, kesibukan orang tua, maupun linkungan masyarakat yang kurang menunjang. Disamping banyaknya, orang tua yang apriori terhadap pendidikan anak, bahkan ada orang tua yang tersinggung ketika menerima laporan mengenai keburukan tingkah laku anaknya, Terlepas dari permasalahan diatas, peneliti ingin mencari gambaran yang kongkrit dan akurat mengenai manfaat peran serta tokoh masyarakat dan Guru pendidikan Agama Islam dalam membina akhlaq seorang anak sehingga dapat memberikan kontribusi bagi keberhasilan pendidikan itu sendiri.

Ibnu Katsir Rah.a, telah mengatakan dalam kitab tafsirnya bahwa luqman berpesan kepada putranya sebagai orang yang paling disayanginya dan paling berhak mendapat pemberian paling utama dari pengetahuannya. Oleh karena itulah, luqman dalam wasiat pertamanya berpesan agar anaknya menyembah Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya sesuatu apapun seraya memperingati kepadanya: Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar" (Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui.

Ibnu Katsir Rah.a, juga mengatakan bahwa seandainya amal sekecil dzarrah itu dibentengi dan ditutupi berada didalam batu besar yang membisu atau hilang dan lenyap di kawasan langit dan bumi, maka sesungguhnya Allah pasti akan membalas-Nya. Demikianlah karena sesungguhnya Allah tiada sesuatupun yang tersembunyi bagi-Nya dan tiada sebutir dzarrah pun, baik yang ada dilangit maupun dibumi, terhalang dari penglihatan-Nya. Oleh sebab itulah, Luqman terus-menerus memberikan pengarahan kepada putranya dalam pesan selanjutnya.

The Fan’s (PW PII NTB 2011-2013)

Menjadi Insan Pembelajar - Tidak Ada Kata Untuk Berhenti Belajar


“Menuntut ilmu itu wajib bagi setia Muslim" (HR.Bukhari Muslim)

Kita mungkin mengenal sosok  Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju’fi al-Farisi atau yang lebih kita kenal Imam Bukhari. Seorang ulama terkenal yang meriwayatkan puluhan bahkan ratusan hadist. Salah satu karya monumentalnya adalah Kitab Shahih Bukhari yang banyak menjadi rujukan para da’i, ustadz, dan para ulama sekarang ini. Untuk mendapatkan satu hadist, beliau rela berjalan kaki yang jarakya berpuluh-puluh mil bahkan ratusan mil. Begitulah semangat Imam Bukhari dalam menuntut ilmu walaupun harus bertatih-tatih untuk mendapatkannya. Itulah salah satu Ulama yang semangat dalam mencari ilmu dan masih banyak Ulama dan para sahabat yang bisa kita jadikan contoh.

Ketika melihat orang-orang terdahulu seperti yang saya ceritakan di atas, rata-rata mereka menyibukkan dirinya dengan banyak belajar dalam rangka untuk mengembangkan kapasitas dan kualitas diri mereka. Tidak ada waktu yang terbuang percuma dalam kesehariannya. Tiap waktunya diisi dengan ibadah, tiap waktunya diisi dengan belajar dan amat sedikit sekali mereka beristirahat. Itulah generasi terdahulu. Generasi yang sangat menaruh perhatian tinggi terhadap ilmu. Generasi yang telah mampu menciptakan peradaban baru bagi khasanah keilmuan dunia.

Memang harus seperti itulah setiap insan, baik yang Muslim maupun yang non Muslim. Mereka wajib menuntut ilmu untuk memberikan stimulus kepada akal pikirannya. Sehingga setiap insan terdorong untuk memikirikan setiap kejadian dan fenomena alam yang terjadi, yang di mana nantinya melahirkan cara pandang yang universal terhadap alam semesta. Dan dari cara pandang inilah diharapkan adanya proses “tadabbur” yang melahirkan hamba yang sadar dan bahkan menambah kedekatan dia kepada Tuhannya.

Itulah insan sejati, insan yang terus belajar dalam mengembangkan potensi dan kapasitas diri mereka. Dan kita sebagai aktivis dakwah (insan) yang merupakan representatif dari mata rantai perjuangan umat Islam tentunya tidak ingin terjerembab dalam jurang kebodohan karena hal itu merupakan sikap yang sangat dibenci oleh Allah dan Rasulnya. Maka dari itu, sewajarnya kita perlu bercermin kepada generasi terdahulu dalam rangka menghasilkan kebaruan hidup. Karena tidak ada kata menyerah bagi kita untuk terus belajar.

Kuncinya adalah memanfaatkan waktu dengan semaksimal mungkin. Kita mencoba memberdayakan waktu, memberdayakan diri, melahirkan ide segar, kerja dengan benar untuk mengasilkan karya besar. Jangan sampai kita sebagai aktivis dakwah (insan) yang dikatakan oleh Solihin Abu Izzudin dalam bukunya “Zero To Hero” hanya sekedar pemain figuran, penonton urakan, atau artis murahan tanpa peran yang jelas karena prinsip dan visinya tidak karuan. Yang pada akhirnya berbagai momentum lewat, kesuksesan minggat, dan bahagiapun mencelat.

Untuk itulah, mari para musafir kelana, kita memanfaatkan momentum hari ini untuk terus belajar dan belajar. Karena di sinilah ruang sosial kita untuk terus mengembangkan wawasan dan khasanah ke-ilmuan kita. Sehingga nantinya ruang struktural menjadi dimensi sekaligus tradisi ke-ilmuan kita. Dan Allah menjanjikan derajat yang tinggi bagi orang yang berilmu.

Allah berfirman ; “Hai orang-orang yang beriman apabila dikatakan kepadamu “berlapang-lapanglah dalam majelis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberikan kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan; “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.Al-Mujadilah:11).”

semoga hari ini menjadi sejarah bagi kita untuk masa depan yang gemilang karena kaki-kaki kecil ini  melangkah membuat sejarah. Wallahu’alam.


By : Irfan Kurniawan

Adakah Karakter Pancasila

Pada tanggal 24 Oktober 2013 lalu, saya bersyukur mendapatkan kesempatan berbicara dalam satu seminar tentang peradaban Islam di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Seminar itu diadakan sebagai satu rangkaian kegiatan peringatan Dies Natalis ke-55 UMS. Bertindak sebagai keynote speaker adalah Prof. Malik Fadjar, mantan rektor UMS yang dikenal sebagai salah satu tokoh pendidikan di Indonesia. Pembicara lain adalah Dr. Gina Puspita, pakar aeoronotika, dosen Fakultas Teknik UMS,  yang juga pendiri “Klub Istri Taat Suami”, serta Prof Dr. Heru Kurnianto Tjahjono, pakar manajemen dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Tema yang diberikan kepada saya adalah “Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarater dan Beradab” -- sama dengan judul salah satu buku yang saya tulis. Memang, diakui oleh banyak pakar pendidikan, bahwa salah satu kelemahan dari pendidikan kita selama ini adalah kurangnya penekanan pada pembentukan karakter unggulan anak didik. Prestasi belajar hanya diukur pada aspek kognitif. Padahal, karakter yang kuat adalah faktor penting dalam kemajuan suatu bangsa. Begitu yang biasa dipaparkan oleh para pakar pendidikan.

Apalagi, fakta juga menunjukkan, masih menonjolnya berbaga karakter negatif di tengah masyarakat, bahkan di kalangan para elite bangsa. Sejumlah karakter manusia Indonesia yang menonjol, seperti pernah diungkap oleh budayawan Mochtar Lubis (alm.), dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 6 April 1977, adalah munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, masih percaya takhayul, lemah karakter, cenderung boros, dan suka jalan pintas. (Mochtar Lubis, Manusia Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001).

Karena mengakui kelemahan dalam karakter bangsa, akhirnya pemerintah merancang program pendidikan karakter. Kini, banyak program sedang dijalankan dengan tujuan membentuk karakter yang dianggap unggulan, seperti jujur,  tanggung jawab, cinta kebersihan, kerja keras, toleransi, dan sebagainya. Pemerintah dan DPR bersepakat bahwa Pendidikan Karakter  perlu diprioritaskan untuk membangun bangsa yang maju. Sekolah dianggap sebagai tempat yang strategis untuk penyemaian pendidikan karaker. Tahun 2011, Balitbang Kementerian Pendidikan Nasional (sekarang: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), mengeluarkan buku kecil berjudul “Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter”.

Dalam pengantar buku tersebut, Kabalitbang Kemmendiknas menulis:  “Pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Hal ini sekaligus menjadi upaya untuk mendukung perwujudan cita-cita sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.”

Sedangkan tujuan Pendidikan karakter adalah untuk mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa yaitu Pancasila, meliputi : (1) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berprilaku baik; (2) membangun bangsa yang berkarakter Pancasila; (3) mengembangkan potensi warganegara agar memiliki sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia.

Disebutkan, bahwa dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter pada satuan pendidikan,  telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, (18) Tanggung Jawab (Sumber: Pusat Kurikulum. Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. 2009:9-10).

Apresiasi dan kritik

Seperti dikhawatirkan Mochtar Lubis, salah satu ciri menonjol pada manusia Indonesia adalah lemah karakternya. Jika karakter yang lemah seperti ini dibiarkan dan tidak dilatih agar berangsur-angsur menjadi semakin kuat, maka masa depan bangsa juga mengkhawatirkan. Umat Islam, sebagai komponen terbesar bangsa Indonesia seharusnya menjadi umat yang paling menonjol kerakternya. Allah Berfirman, "Kamu adalah umat terbaik, yang dilahirkan untuk manusia. Kamu menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar. Dan kamu beriman kepada Allah." (QS 3:110).

Umat Islam adalah umat yang mulia, jika mereka benar-benar beriman (QS 3:139). Umat Islam diserahi tugas mewujudkan rahmatan lil alamin, memakmurkan bumi dan mewujudkan keselamatan bagi manusia, di dunia dan akhirat. Umat Islam akan menjadi saksi atas manusia. Sebab kata Nabi s.a.w, Al Islamu ya'lu wal yu'la alaihi. Islam itu tinggi. Tidak ada yang lebih tinggi dari Islam. Karena itu, memang bisa dikatakan, masa depan umat Islam dan bangsa Indonesia, akan ditentukan oleh berhasil atau tidaknya pendidikan berbasis karakter atas mereka.

Akan tetapi, kita,  warga bangsa yang Muslim, perlu bertanya, “Pendidikan Karakter seperti Apa yang dimaui oleh pemerintah?” Bagaimana pendidikan karakter itu dipandang dari perspektif pandangan alam Islam (Islamic worldview).

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang mengaku berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Sesuai kesepakatan Bung Hatta dengan para tokoh Islam di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tauhid. Karena itu, tidak sepatutnya bangsa Indonesia mengembangkan konsep Pendidikan Karakter yang ateis atau yang bersifat sekuler. (Tentang arti Pancasila, lihat Adian Husaini, Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2009).

Seyogyanya, pendidikan karakter yang dikembangkan di Indonesia, khususnya untuk umat Islam, haruslah pendidikan karakter berbasis Tauhid. Jika bangsa Cina, Jepang, AS, dan sebagainya, maju sebagai hasil pendidikan karakter, tentulah bangsa Indonesia harus memiliki karakter yang lebih baik, tanpa perlu menjadi komunis, ateis, atau sekuler.

Dalam perspektif Tauhid inilah, tampak sejumlah ketidakjelasan dan kerancuan dalam konsep Pendidikan karakter yang saat ini diajukan pemerintah.  Misalnya, disebutkan, bahwa “Pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Hal ini sekaligus menjadi upaya untuk mendukung perwujudan cita-cita sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945”

Jika ditanyakan, apa makna ungkapan “akhlak mulia”, “moral”, “etika”, “adab”, menurut falsafah Pancasila?  Apakah Pancasila bisa dijadikan sebagai landasan untuk berakhlak mulia? Jika bisa, bagaimana kita harus berakhlak mulia  sesuai Pancasila? Bisakah dijelaskan, bagaimana cara menggosok gigi yang baik menurut falsafah Pancasila?

Juga disebutkan dalam buku Panduan tersebut, bahwa tujuan Pendidikan karakter adalah untuk mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa yaitu Pancasila, meliputi : (1) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berprilaku baik; (2) membangun bangsa yang berkarakter Pancasila; (3) mengembangkan potensi warganegara agar memiliki sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia.

Menjadikan Pancasila sebagai pedoman pembentukan karakter bangsa akan menimbulkan persoalan serius, karena akan membenturkan Pancasila dengan agama. Pancasila seyogyanya tidak dijadikan sebagai landasan amal, akhlak, atau karakter. Sebab, itu adalah wilayah agama. Jika Pancasila akan ditempatkan sebagai pedoman karakter atau moral, maka akan menjadi pedoman baru, yang berbenturan dengan posisi agama. Hal itu tidak akan berhasil, sebab Pancasila tidak memiliki sosok panutan ideal yang bisa dijadikan contoh dalam pembentukan karakter. Berbeda dengan Islam, yang memiliki suri tauladan yang jelas dan abadi, yaitu Nabi Muhammad saw.

Seharusnya, bangsa Indonesia mau belajar dari kegagalan Orde Baru dalam upaya penempatan Pancasila sebagai pedoman amal. Upaya pemerintah Orde Baru untuk menempatkan Pancasila menjadi landasan moral dilakukan melalui sosialisasi dan indoktrinasi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Tahun 1978, Partai Persatuan Pembangunan menolak pengesahan Tap MPR tentang P4. Tokoh Masyumi Sjafroedin Prawiranegara juga berkirim surat kepada Presiden Soeharto tanggal 7 Juli 1983, yang menyatakan, bahwa tidak ada yang namanya moralitas Pancasila, karena urusan moral sudah ada dalam agama masing-masing. Sjafroedin menekankan, bahwa Pancasila adalah asas negara dan landasan konstitusi. Prof. HM Rasjidi juga berpendapat, P4 membahayakan keberadaan Islam. Misalnya, ajaran tentang kerukunan beragama telah dipergunakan untuk membelenggu umat Islam supaya tidak menentang pemurtadan umat Islam  oleh aliran kebatinan dan kristenisasi. Ada juga tokoh yang menulis bahwa P4 memberikan perlindungan terhadap aliran kepercayaan dan menyingkirkan kaitan historis kedudukan umat Islam dalam kerangka ideologi Pancasila. P4 dipandang sebagai manipulasi dan pemusatan penafsiran ideologi negara oleh penguasa tanpa mengaitkan asas-asas ajaran agama, terutama Islam. Memang, sejak tahun 1975, PMP wajib diajarkan di sekolah-sekolah. Dan sejak ditetapkan MPR, maka Penataran P4 diwajibkan untuk pegawai negara dan mahasiswa. Menurut Riswanda Imawan, penataran P4 dimaksudkan untuk mengurangi pentingnya ideologi Islam. Ada juga yang menyebut proses Pancasilaisasi mempunyai implikasi ”deislamisasi”. Juga, menurut Leifer, salah satu fungsi Pancasila adalah untuk melindungi identitas budaya kelompok abangan. Muhammad Natsir menyebut diberlakukannya pelajaran PMP di sekolah-sekolah merupakan bentuk pendangkalan agama dan penyamaan agama dengan Pancasila. (M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, hal. 179-180).

Jika pendidikan karakter didasarkan kepada falsafah Pancasila yang tidak dijelaskan maknanya,  maka sudah barang tentu, pendidikan karakter itu berpijak di atas fondasi yang rapuh. Seharusnya, pendidikan karakter di Indonesia dilaksanakan – khususnya bagi kaum Muslim – dengan berdasarkan kepada konsep Tauhid. Itulah sebenarnya makna dan konsep yang paling tepat bagi pendidikan Karakter di Indonesia, sesuai dengan makna Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 16 Rabiulawwal 1404 H/21 Desember 1983 memutuskan sebuah Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam, yang antara lain menegaskan:  (1) Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. (2) Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. (3) Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia. (Lihat, pengantar K.H. A. Mustofa Bisri berjudul “Pancasila Kembali” untuk buku As’ad Said Ali, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, (Jakarta: LP3ES, 2009). Lihat juga, Munawar Fuad Noeh dan Mastuki HS (ed), Menghidupkan Pemikiran KH Achmad Siddiq, (Jakarta: Pustaka Gramedia Utama, 2002), hal. 118-145).

M. Ali Haidar, dalam bukunya, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), memberikan komentar terhadap keputusan Munas Alim Ulama tersebut: “Penegasan ini sebenarnya bukannya tidak terduga. Seperti dikemukakan Hatta ketika bertemu dengan beberapa pemimpin Islam tanggal 18 Agustus 1945 menjelang sidang PPKI untuk mengesahkan UUD, mereka dapat menerima penghapusan ‘tujuh kata’ yang tercantum dalam Piagam Jakarta, karena dua alasan. Pertama, bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan monoteisme tauhid dalam Islam. Kedua, demi menjaga kesatuan dan keutuhan wilayah negara yang baru diproklamasikan sehari sebelumnya… Salah seorang yang dipandang Hatta berpengaruh dalam kesepakatan ini ialah Wachid Hasjim, tokoh NU yang memiliki reputasi nasional ketika itu. Jadi rumusan deklarasi itu hakekatnya menegaskan kembali apa yang telah disepakati sejak negara ini baru dilahirkan tanggal 18 Agustus 1945 yang lalu.” (hal. 285-286).

Sebenarnya, terlepas dari agama dan ideologi masing-masing, harusnya bangsa Indonesia mau bersikap jujur, bahwa rumusan Pancasila yang berlaku sekarang ini, tidaklah terpisahkan dari rumusan Pembukaan UUD 1945, yang kini berlaku kembali sebagai hasil Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit itu menegaskan bahwa Piagam Jakarta adalah menjiwai dan merupakan satu kesatuan dengan UUD 1945. Karena itu, dalam memahami sila Pertama, misalnya, tidak boleh dilepaskan dari alinea ketiga Pembukaan UUD 1945: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa…”. Jadi, sila pertama, menurut berbagai tokoh organisasi Islam,  bisa dikatakan sebagai penegasan konsep Tauhid dalam Islam, sebab dalam alinea ketiga jelas-jelas disebutkan nama Tuhan yang Esa yaitu Allah.  

Dalam buku Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun, tokoh Muhammadiyah, Prof. Kasman Singodimedjo menegaskan: “Dan segala tafsiran dari Ketuhanan Yang Maha Esa itu, baik tafsiran menurut historisnya maupun menurut artinya dan pengertiannya sesuai betul dengan tafsiran yang diberikan oleh Islam.” (Lihat, Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hal. 123-125).

Karena itu, sudah sepatutnya, pendidikan karakter di Indonesia memang didasarkan kepada konsep Tauhid, sehingga memiliki landasan, konsep, dan teladan (uswatun hasanah) yang jelas. Sebagai aplikasinya, misalnya, karakter ”toleransi”,  harus diberi batasan, bahwa umat Islam tidak boleh bertoleran terhadap kemusyrikan dan kemunkaran. Dalam tataran kebangsaan, sudah sepatutnya, negara tidak menfasilitasi berkembangnya paham-paham syirik yang bertentangan dengan konsep Tauhid. Maka, keliru, jika atas nama Pluralisme dan multikulturalisme, siswa diajarkan agar bertoleran terhadap segala bentuk aliran sesat yang jelas-jelas merupakan suatu kemungkaran.

Yang benar adalah, negara wajib melindungi segenap warganya, khususnya warga Muslim, agar tidak mengikuti paham syirik dan kemungkaran. Yang terangkit penyakit syirik, diupayakan agar bertobat. Bukan malah dikembangkan dengan alasan itu merupakan “local wisdom”. Anak-anak Muslim perlu ditanamkan untuk memiliki karakter yang kuat dalam bertoleransi, tetapi tanpa merusak keimanannya dan tetap didorong untuk aktif menjalankan kewajiban dakwah, yakni malaksanakan amar ma’ruh nahi munkar.

Jadi, kita bisa menyimpulkan, bahwa sebenarnya tidak ada yang namanya “karakter Pancasila”.  Pendidikan karakter di Indonesia sepatutnya dikembalikan kepada agama masing-masing. Serahkan pembentukan karakter anak-anak Muslim pada orang tua dan para guru yang muslim; menggunakan konsep pendidikan akhlak dalam Islam dan menjadikan Nabi Muhammad saw sebagai sosok teladan yang agung. Didiklah anak-anak Muslim agar mereka memiliki karakter mulia dalam Islam, seperti pemberani (syajaah), cinta pengorbanan, bermartabat, jujur, cinta kebersihan, cinta ilmu, cinta kerja keras, punya rasa malu, cinta sesama, dan sebagainya, dengan berdasar kepada ajaran Islam.

Dengan cara itu sebenarnya Pancasila sudah ditegakkan; tidak perlu ada yang namanya “karakter Pancasila”. Tidak akan ditemukan manusia Indonesia yang bisa mengamalkan Pancasila 100 persen, yang seluruh ucapan dan perbuatannya bisa dijadikan contoh keteladanan. Kita memerintahkan anak kita menolong fakir miskin, menyantuni anak yatim, karena itu perintah Allah SWT, sesuai ajaran Islam; bukan karena perintah Pancasila.  Dan yakinlah kita, di akhirat nanti, tidak akan ditanya oleh Allah, apakah kita sudah mengamalkan Pancasila atau tidak! Wallahu a’lam.

(Depok, 1 November 2013).

 By : Adian Husaini

Ulama dan Santri Pahlawan Indonesia


Tanggal 10 November dijadikan hari pahlawan bagi bangsa Indonesia. Tentunya dalam memperingati hari pahlawan, pemerintah pasti memberikan gelar kepada beberapa orang yang di anggap sebagai “pahlawan”. Sebuah gelar yang sangat istimewah bagi orang yang dianugrahi gelar tersebut. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), pahlawan diartikan sebagai orang yang  menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yg gagah berani. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah “siapakah pahlawan Indonesia sebenarnya?”

Pemerintah Indonesia melalui Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, menetapkan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada tiga tokoh pada 2013, temasuk dua tokoh Kristen, TB. Simatupang  dan Lambertus Nicodemus Palar. Ketiga tokoh yang diberi gelar Pahlawan Nasional yaitu Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Radjiman Wedyodiningrat dari Yogyakarta, Lambertus Nicodemus Palar dari Sulawesi Utara, dan Letjen TNI (Purn) TB Simatupang dari Sumatra Utara.

Pejabat Departemen Sosial, Hartono menjelaskan, ketiga tokoh tersebut ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional dari delapan usulan calon pahlawan, ujarnya, Jum'at, 8/11/2013. Radjiman Wedyodiningrat, kelahiran Yogyakarta 21 April 1879, adalah salah satu tokoh pendiri Republik Indonesia. Ia merupakan ketua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). (VOA Islam. Com)

Sedangkan, Lambertus Nicodemus (LN) Palar adalah tokoh yang lahir di Rurukan Tomohon, Sulut, pada 5 Juni 1900. Ia menjabat sebagai wakil RI dalam beberapa posisi diplomatik di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sementara, TB Simatupang lahir di Sidikalang, Sumut, pada 28 Januari 1920. Dia adalah tokoh militer Indonesia yang kini namanya diabadikan sebagai salah satu nama jalan besar di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan.

Setelah pensiun pada 1959 dia aktif di Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI), Dewan Gereja-Gereja se-Asia, hingga Dewan Gereja-Gereja se-Dunia.


Rekam Jejak dan Konspirasi Kristen di Indonesia

Riwayat kristenisasi di Indonesia serentak dengan datangnya penjajah kolonial. Selama tiga setengah abad Indonesia dijajah oleh Spanyol, Portugis, Belanda, dan Jepang. Status sebagai Negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia sekaligus memiliki kekayaan alam yang berlimpah menjadikan Indonesia target penting bagi missionaries dan kolonialis. Ibarat Indonesia sebagai kembang desa yang banyak dipuja.

Masuk dan menyebarnya agama Kristen di Indonesia terjadi serentak dengan masuknya kolonialisme Barat. Portugis maupun Belanda sama-sama datang dengan membawa misi Kristen. Dalam teks pidato kenegaraan Raja Belanda, 18 September 1901 disebutkan :

“Sebagai bangsa Kristen, Belanda mempunyai kewajiban untuk memperbaiki keadaan orang-orang Kristen pribumi di daerah kepulauan Nusantara, memberikan bantuan lebih banyak kepada kegiatan missi Kristen.”¹

Pada tahun 1810 Raja Willem I mengeluarkan peraturan keharusan gereja bersatu dengan Negara di Indonesia. Peraturan ini melahirkan rekomendasi untuk mengirimkan para missionaries dalam jumlah banyak ke Jawa dan Ambon. Di Indonesia, tanpa bantuan pemerintah (Belanda), administrasi gereja Hindia tidak mungkin mempunyai kekuatan untuk mengatur langkah-langkahnya secara tertib.²

Jadi, selain mengekploitasi kekeyaan alam, kolonialisme Barat juga berusaha menghancurkan Islam yang dipeluk oleh pribumi. Pribumi yang masuk Kristen tentu lebih setia kepada perintah koloial yang sama-sama beragama Kristen dibanding pribumi yang beragama Islam.


Konspirasi Perumusan Dasar Negara (BPUPKI)

Sejarah mencatat pengkhianatan orang-orang Kristen atas kemerdakaan RI saat rapat BPUPKI untuk menentukan dasar Negara. Para ulama mengusulkan, Indonesia nantinya menjadi Negara Islam. Namun usulan ini ditolak oleh nasionalis sekuler dan Kristen. Karena terjadi perdebatan panjang, BPUPKI membentuk Panitia Sembilan. Saat itu, A.A Maramis mewakili pihak kristen.

Tanggal 9 Juli 1945, Panitia Sembilan menyusun Gentlemen’s Agreement, yang dikenal sebagai Piagam Jakarta. “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Demikian isi sila pertama.”

Namun, pada saat rapat BPUPKI 11 Juli 1945, Piagam Jakarta digugat oleh seorang Kristen Maluku, Latuharhary, dengan alasan yang dibuat-buat. Usulan ini ditolak. Wahid Hasyim, sebagai wakil NU, meminta tujuh kata tidak dipersoalkan. Bahkan ia mengusulkan, “Presiden harus beragama Islam.” Dan pasal 29 ditambah , “Agama Negara adalah Islam.” Selain itu, Ki Bagus Hadikusumo, tokoh Muhammadiyah mengusulkan kalimat, “bagi pemeluk-pemeluknya”, dicoret. Sehingga bunyinya, “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam.”

Jadi pada awalnya, pelaksanaan syariat Islam dimasukkan dalam konstitusi. Hanya, pada tanggal 18 Agustus 1945 terjadi musibah, Piagam Jakarta dihapus. Konon, karena kedatangan opsir Jepang ke Mr. Hatta. Ia mengaku utusan Kristen Indonesia, yang dikemudian hari terungkap, yang mengutusnya adalah Sam Ratulangi, politikus Kristen yang picik dari Minahasa, Sulawesi.

Isi pesannya singkat, “Tujuh kata itu dihapus. Kalau tidak, umat Kristen di Indonesia Timur akan memisahkan diri dari NKRI yang baru saja diproklamasikan.” Muhammad Natsir menganggap ini adalah ultimatum kepada RI. (Adian H, Wajah Peradaban Barat, hlm 374-376).


Ulama dan Santri Pahlawan Indonesia

Berangkat dari fakta sejarah di atas, orang sehat akan berkesimpulan, antara orang Kristen telah menjalin hubungan mesra dengan para penjajah. Oleh karena itu, perjuangan untuk mengusir penjajah mustahil dilakukan oleh orang-orang Kristen apalagi pahlawan nasional beragama Kristen. Yang merasakan suka duka perjuangan memerdekaan Indonesia adalah Umat Islam lewat peran Ulama dan santri.

Adapun beberapa pahlawan yang dianggap sebagai perwakilan orang Kristen, seperti Kapitan Pattimura dan Sisinga Mangaraja adalah klaim belaka. Sejarah telah mendistorsikan mereka. Karena sejarah membuktikan mereka adalah Pejuang Islam. Yang diperjuangkan oleh ulama Islam saat itu adalah penegakkan Islam, bukan demokrasi,atau pancasila. Memperjuangkan nilai kedua ideology di atas tidak pernah terlintas dalam benak para ulama pejuang.

Karena, keduanya tidak dikenal pada masa itu. Kenal saja tidak, apalagi memperjuangkannya. Salah satu buktinya, pengeran Diponegoro menuntut Belanda untuk memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk menerapakan syariat Islam di tanah Jawa.³

Kesimpulannya, kolonialisme dam missi Kristen mempunyai hubungan erat. Kedatangan mereka bukan hanya menjajah sumber daya alam tapi juga menjajah secara ideology. Keliru kalau pemerintah Indonesia sekarang memberikan penghargaan kepada orang yang jelas-jelas telah berkonspirasi dalam perjalanan memerdekaan Bangsa ini. Wallahu’alam


Penulis : Irfan Kurniawan (Dewan Ta'dib Regional PW PII NTB 13'-15')



Catatan Kaki :



  1. Deliar Noer, Gerakan Islam Modern, hlm. 184

  2. Deliar Noer, Gerakan Islam Modern, hlm. 187

  3. A.M. Suryanegara, Api Sejarah 1. hlm. 203

  4. Adian H, Wajah Baradaban Barat, hlm. 374-376

  5. Majalah An-Najah edisi 63 Desember 2010, hlm. 5-6.

  6. VOA Islam. Com

MEMBINCANGKAN KEMBALI SISTEM PENDIDIKAN ISLAM



Oleh ; Eva Muchtar

(Dosen Institut Teknologi Bandung )

Bangsa ini memiliki kualitas SDM yang rendah. Hal ini terlihat dari data mahsiswa baru (tahun 2008) di salah satu perguruan tinggi “terbaik” di Indonesia. Diperoleh gambaran sebagai berikut :

Tingkat kecerdasan (IQ > 110)                79%

Kemandirian                                                     13%

Usaha                                                                   67%

Percaya Diri                                                      11%

Kepekaan                                                            19%

Kepemimpinan                                          4%

Dari data di ini terlihat jelas bahwa mereka memiliki IQ yang tinggi, namun mereka tidak mandiri, tidak percaya diri, bahkan tidak memiliki jiwa kepemimpinan. Potret generasi seperti ini tidaka mampu menyelesaikan persoalan orang lain, apalagi persoalan Negara. Yang mereka pikirkan hanyalah seputar dirinya. Jadi, wajar jika lulusan pendidikan negeri ini hanya diposisikan sebagai buruh. Bukan sebagai pencipta tenaga kerja. Ini artinya, Indonesia hanya berpredikat sebagai follower, bukan sebagai leader. Dapat dikatakan system pendidikan nasional telah gagal memproduksi generasi bangsa ini menjadi generasi cerdas dan mandiri.

Negeri-negeri Muslim mengalami krisis generasi. Hal ini disebabkan karena system pendidikan sekuler-materialistik  yang diterapkan. System pendidikan ini telah menghasilkan generasi yang lemah. Sosok-sosok seperti inilah yang telah menghantarkan kehancuran negeri-negeri Muslim ke dalam jurang kezaliman.

Oleh karena itu, menjadi penting bagi kaum muslim pada umumnya  dan genrasi Islam pada khusunya untuk mendapatkan gambaran dari system pendidikan Islam yang bersifat komperehensif-integral yang dapat diterima secara universal oleh umat manusia lainnya.

Konsep Pendidikan Islam

Pendidikan bagi setiap Muslim merupakan kebutuhan dasar. Allah SWT telah mewajibkan setiap Muslim untuk menuntutu ilmu dan membekali dirinya dengan bergagai macam ilmu untuk dapat meyelesaikan permasalahn dirinya, keluarga, masyarakat, dan Negara. Rasulullah SAW bersabda ;

“Menuntut ilmu itu wajib bagi setipa Muslim”. (HR. Ibnu Majah)

Dalam hadist lain dikatakan, “jadilah kamu orang yang berilmu, atau pencari ilmu, atau pendengar (ilmu), atau pencinta (ilmu), jangan menjadi yang ke lima (orang bodoh) nanti kamu binasa.” (Lihat; Al-Fatur Kabir, I/204).

Dari hadist di atas, dapat dilihat bahwa tidak akan muncul peluang timbulnya kebodohan di kalangan kaum Muslimin. Sebab, Negara memiliki kewajiban untuk melahirkan generasi yang berkualitas yang sevara hakiki mengambil ideology Islam sebagai asas kehidupannya. Generasi ini telah memajukanperadaban Islam di muka bumi selama lebih 13 abad.

Tujuan Umum Pendidikan

Dalam menyusun kurikulum dan materi pelajaran terdapat tujuan pokok pendidikan yang harus diperhatikan :



  1. Membangun kepribadian Islami, pola pikir (aqliyah) dan jiwa (nafsiyah) bagi umat, yaitu dengan cara menanamkan tsaqofah Islam berupa akidah, pemikiran dan perilaku Islami ke dalam akal dan jiwa peserta didik.

  2. Mempersiapkan anak-anak kaum Muslim agar di antara mereka menjadi Ulama-ulama yang ahli di setiap aspek kehidupan, baik ilmu-ilmu ke-Islaman (ijtihad, fikih, peradilan, dan lain-lain) maupun ilmu-ilmu terapan (teknik, kimia, fisika, kedokteran, dan lain-lain). Ulama-ulama yang mumpuni akan membawa Negara Islam dan umat Islam berada pada posisi puncak di antara bangsa-bangsa dan Negara-negara lain yang ada di dunia, bukan sebagai pengekor maupun agen pemikiran dan ekonomi Negara lain.

Output Pendidikan Islam

Output pendidikan Islam adalah lahirnya individu-individu terbaik yang memiliki pola piker dan pola sikap Islami serta jiwa kepemimpinan baik pada skala individu, komunitas, bahkan skala Negara. Kaum Muslim diposisikan oleh Allah SWT sebagai umat Terbaik (khayru Ummah) (QS. Ali-Imran 3:110). Karena itu Negara wajib menyiapkan generasi terbaik agar dapat memimpin bagsa-bangsa lainnya. Gambaran generasi terbaik adalah generasi yang memiliki ; (1) kepribadian Islam; (2) Faqih fi ad-Dien; (3) terdepan dalam sains dan teknologi, dan (4) berjiwa pemimpin. Generasi inilah yang kan menjadi pengendali  eksistensi Negara menjadi Negara mandiri, kuat, terdepan, dan mampu memimpin bangsa-bangsa lainnya.

Berdasrakan output pendidkan ini, dibuat arah (tujuan) pendidikan, selanjutnya diturunkan dalam kurikulum pembelajaran dan metode pembelejaran. Negara harus menyiapkan standar kurikulum, yakni kurikulum yang terintegrasi dengan akidah Islam yang disesuaikan dengan level berpkir (usia). Selanjtnya Negara menetapkan metode pembelajaran yang baku dalam proses pembelajaran.

Kurikulum Pendidikan Islam

Negara menetapkan kurikulum pendidikan berdasarkan akidah Islam. Sebab, akidah Islam menjadi asas bagi seorang Muslim dan asas bagi negaranya. Artinya, akidah Islam dijadikan standar penilaian. Kurikulum yang bertentangan dengan akidah Islam tidak boleh diambil atau diyakini. Negara harus memberlakukan kurikulumnya berdasarkan level berpikir (usia) anak agar peserta didik dapat mengamalkannya dan peserta didik tidak merasa terbebani.

Negara harus memberlakukan kurikulum yang sesuai untuk mencapai output pendidikan, yakni dengan cara membagi kurikulum menjadi ; (1) kurikulum dasar, seperti tahfizd al-Qur’an dan bahasa (Arab, local, internasional) ; (2) kurikulum inti, seperti tsaqofah Islam (ilmu-ilmu ke-Islaman, al-Qur’an, hadist, fiqih, dan lain-lain) ; (3) kurikulum penunjang seperti ilmu-ilmu terapan, matematika, dan lain-lain.

Metode Pembelajaran

Matode pengajaran yang benar adalah menyampaikan (khithab) dan panerimaan (talaqqi) pemikiran dari pengajar kepada pelajar. Seorang pengajar harus dapat memberikan gambaran yang mendekati suatu realitas kepada peserta didik ketika menyampaikan suatu konsep atau ide sehingga realita tersebut dapat dirasakannya. Dengan demikian mereka telah menerimanya sebagai suatu pemikiran sehingga terdorong untuk mengamalkannya.

Instrument terpenting dalam penyampaian atau penerimaan pemikiran pada proses belajar-mengajar adalah bahasa yang jelas maknanya dan mudah dipahami oleh peserta didik sehingga setiap anak bisa memahami 100% setiap mata pelajaran.

Manajemen Pendidikan Islam  

Untuk mencerdaskan rakyatnya, negara perlu menata dan mengelola system pendidikan yang diadopsi agar tercapi output pendidikan Islam. Untuk itu perlu dilakukan pengeloalaan dalam empat hal yakni :



  1. Biaya pendidikan bebas biaya (gratis).

  2. Sarana dan prasarana pendidikan yang memadai seperti ruang kelas, perpustakaan, laboratorium sebagai tempat praktikum secara langsung bagi peserta didik, dan lain-lain agar proses belajar-mengajar dapat berjalan dengan baik.

  3. Penyediaan guru yang berkualitas. Gambaran guru yang berkualitas antara lain ; (1) memilki kepribadian Islam, guru akan menjadi model cerminan bagi peserta didik ; (2) memahami potensi anak ; (3) memahami perkembangan anak berdasakan usia ; (4) memahami arah dan target pembelajaran anak berdasarkan level berpikir (usia) ; (5) menguasai pembelajarn untuk menjadi rujukan perilakunya ; (6) kreatif dan inovatif dalam teknik pembelajarn, sehingga anak menjadi senang belajar tanpa ada beban.

  4. Penyiapan orang tua yang berkualitas. Negara harus mendorong dan menfalitasi orang tua dalam meningkatkan kemampuannya dalam mendidik anaknya agar tercapai output pendidikan. Gambaran orang tua yang berkualitas antara lain; (1) memiliki kepribadian Islam, orang tua adalah orang pertama yang akan dicontoh oleh anak ; (2) memahami potensi anak ; (3) memahami potensi anak berdasarkan usia ; (4) memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap proses pembelajaran anak terutama di usia pra-baliq ; (5) memberikan perhatian yang utuh terhadap perkembangan anak : (6) memberikan kasih saying yang tulus kepada anak ; (7) memahami arah dan target pendidikan anak berdasarkan usia : (8) siap menjadi guru pertama dan utama bagi anak-anaknya.

kesimpulan  

dimulai sejak jaman Rasulullah SAW pendidikan untuk rakyat menjadi kewijaban negara. Begitu juga pada masa khalifah Umar bin Khathab ra yang senantiasa berharap adanya SDM yang berkuallitas di negaranya agar mereka dapat membantu mengatur urusan umatnya. Sebagai contoh Mu’adz bin Jabal yang dikenal sebagai individu yang berkapabilitas tinggi dalam memahami masalah halal dan haram sampai-sampai beliau dinobatkan sebagai Hakim Agung pada usia 18 tahun. Sudah saatnya negeri ini dan negeri-negeri Muslim lainnya mengganti seluruh tatanan kehiduapnnya, termasuk pendidikan dengan ideology Islam, agar lahir secara masal generasi seperti Mu’adz bin Jabal. Generasi yang berkuaitas tinggi yang mampu mengembalikan kemuliaan Islam kaum Muslimin di seluruh dunia. Wallahu’alam bi ash-shawab. 

Rabu, 01 April 2015

Ta’dib: Perbenturan Realita Dan Idealita


Seringkali realita tidak seiya sekata dengan idealita yang dicita-citakan. bukan usaha yang gampang untuk merealisasikan ta’dib secara sempurna. butuh perjuangan yang berdarah-darah pula. tahun 90-an, kanda Husni Thamrin harus bolak balik Mataram-Loteng-Lotim-Lobar dengan kayuhan sepedanya untuk menjalankan ta’dib secara paripurna. kursus dan taklim. atau kisah bang Burhan Said dengan segala ‘kebodohan’nya dari Jayapura ke Jakarta hanya untuk sebuah advantra. kisah keikhlasan ayahanda dari Wahyu Martariningsih pun terekam oleh sejarah menyempurnaan pelaksaan ta’dib di NTB. bagaimana tidak ikhlas? wong diapit pejuang-pejuang ta’dib perkasa nan gagah: Syarifinnur dan Syarif Mubarok. Ingat Syakurahman dan patner-nya? harus terpental-pental dalam kecelakaan motor di Punia oleh Shogun yang dibawanya, kejadian tepat sehari sebelum keberangkatan intra-nya jauh di Sumenep, Madura. realita terkadang harus tergores oleh darah untuk sebuah idealita.

Ini jalan menuju iman, memang. Taqiyuddin an Nabhani menulis dalam karyanya Nizham al Islam, bangkitnya manusia tergantung pada pemikiran tentang hidup, alam semesta, dan manusia serta hubungan ketiganya dengan sesuatu yang ada sebelum, ketika, dan sesudah kehidupan dunia. tidak erlebihan, itu telah dirangkum II dam falsafah gerakan, khittah perjuangan, yang realisasinya diatur melalui Buku Induk Kaderisasi PII: ta’dib.

Memahami tentang realita; alam semesta, hidup dan manusia ini pula yang dikatakan ’ideologi’. ideologi yang terlahir dari idealita yang diharap. itu semua menjadi sesuatu yang begitu dipaksakan, memaknai konsep hidup atas kata ideologi. para jamaah Syeikh Taqi memang telah memberi stempel al tersebut sebagai ideologi. memandang realita tersebut sebagai ideologi tidak terlepas dari karya Louis Althusser dalam terjemahanny Essays on Ideology (1984), sebagaimana diketahui bahwa ekspresi ’ideologi’ diciptakan oleh Cabanis, Destutt de Tracy, dan kawan-kawan, yang membuhulkannya sbagai objek dari teori (genetik) ide. ketika Marx memungut istilah tersebut 50 tahun sesudahnya, ia memberikan arti yang sangat berbeda di dalam karya-karya awalnya. di dalamnya, ideologi adalah sistem gagasan dan pelbagai representasi yang mendominasi benak manusia atau kelompok sosial.

Itu realita yang berkembang, memang. seringkali realita tak seiya sekata dengan idealita yang dicita-citakan, tapi kader PII bersyukur punya handbook yang mudah dipahami dengan konsepsi yang jelas, simple untuk dibaca buat orang yang tidak sekaolah sekalipun. falsafah gerakan (FG) dan khittah perjuangan (KP) jadi pilihan.

FG dan KP tentu tidak lepas dari ta’dib dalam tataran praktis. ta’dib sebagai ’saudara kembar’ dari FG dan KP memberi aturan yang jelas dan komprehensip untuk mencapai cita-cita PII. hingga pada akhirnya ta’dib menjadi harus di’kultus’kan untuk menjaga kemurnian dan tersampainya visi dan misi FG dan KP dalam ta’dib tersebut. ini tentu karena penjabaran konten dan hakekat FG dan KP melalui ta’dib harus seseorang yang memeiliki kualifikasi dan tekun mendalami kitab ’suci’nya. walau tidak selamanya benar, tapi yang harus dipahami setelah kaderisasi dilalui seseorang tersebut kerkait erat dengan transformasi ilmu dan konsepsi yang ia dapatkan dari setiap jenjang training. itu sebabnya, misal, kenapa hanya KP yang disampaikan dalam batra, tidak FG. lagi-lagi KP yang disampaikan dalam intra dan FG disampaikan dalam advantra. penjadwalan atau pemberian materi ini memang tidak dibahas dalam FG dan KP, tapi dalam ta’dib. FG dan KP yang berisi konseptual mengenai hal yang menyebabkan mengapa ta’dib dibanyak wilayah harus di’kultus’kan. dikultuskan tentu karena harus menjaga kemurnian dan tersampainya visi dan misi dalam ta’dib tersebut.

Memang tidak mustahil kader batra mampu menafsirkan FG dan KP ataupun ta’dib. namun idealnya, orang-orang yang telah menjadi instrukturlah yang mampu mentransformasikan visi dan misi PII yang ada dalam ta’dib. karena diharapkan instruktur mampu secara dewasa, akal yang mumpuni untuk menjabarkan konten dari kurikulum ta’dib. inilah sebabnya mengapa Jujun S. Suriasumantri dalam Filsafat Ilmu-nya mengatakan, secara ontologis ilmu membatasi diri hanya dalam ruang lingkup pengalaman manusia. di alur bidang empiris, ilmu tidak bisa mengatakan apa-apa. inilah yang mendasari mengapa instruktur yang layak. Jujun menambahkan, kemajuan manusia tidak bisa diukur hanya dengan perluasan pengetahuannya saja, ia mengutip Danial Boorstin, melainkan juga harus diukur dengan bertambahnya kesadaran akan ketidaktahuannya. artinya, kawan-kawan PW PII NTB dan PW manapun itu harus dewasa melihat ketidakmampuannya, jujur atas keterbatasannya, dan mau berusaha untuk lebih bermanfaat buat umat dengan melaksanakan ta’dib dengan benar. tahu kan, mekanisme pelaksanaan ta’dib? mekanismenya mengacu pada wewenang dan tanggungjawab yang dimiliki tiap eselon selaras dengan jalur, jenjang dan jenis pembinaan yang ada dalam sistem ta’dib. Hmmm.

Rabu, 29 Oktober 2014

Memaknai Tahun Baru Islam


Dalam penanggalan kelender Masehi tahun baru Hijriah atau tahun baru Islam 1436 H jatuh pada tanggal 25 Oktober 2014 M. Sebagai negara yang mayoritas Muslim di dunia, tahun baru Islam seharusnya dirayakan semeriah mungkin sebagaimana perayaan tahun baru Masehi. Karena tahun baru Islam memilki nilai tersendiri bagi seorang muslim untuk menyongsong semangat perubahan. Seharusnya pergantian tahun baru Islam menjadi sebuah momen muhasabah bagi kita sebagai umat muslim karena pada tahun tersebut tersimpan makna historis yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat. Sebuah peristiwa “hijrah” yang membawa perubahan bagi tatanan kehidupan masyarakat jahilliyah pada saat itu.

Konsep hijrah sendiri secara normative sebenarnya mengacu pada momentum historis dalam sirah Rasulullah SAW ketika beliau dan para sahabatnya melakukan perpindahan dari Mekkah ke Yastrib (Madinah) pada tahun 622 M. perpindahan yang tidak sekedar tempat tinggal, melainkan juga perpindahan ideologi dan pola hidup. Hijrah inilah yang disebut sebagai hijrah makaniyah (tempat), yang tak akan pernah terjadi lagi sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang disampaikan ‘Aisyah RA sebagai berikut :

Tidak ada hijrah setelah penaklukkan kota Mekkah, akan tetapi jihad dan niat, dan jika kalian diminta untuk pergi berjihad maka pergilah. (Riwayat Bukhari dalam Kitab al-Jihad was-Siyar no.2783, dan Muslim dalam Kitab al-Imaarah no.1864).

Meskipun hijrah makaniyah itu dinyatakan sudah tertutup, bukan berarti konsep hijrah tidak punya fungsi lagi. Sebab, Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa hijrah juga berlaku secara maknawiyah, yakni dalam ruang lingkup transformasi nilai.

Peristiwa hijrah mengandung nilai-nilai edukatif yang amat mengesankan dalam memberi arah dan pedoman yang berkesinambungan perjuangan umat Muhammad dari waktu ke waktu. Sebagai peristiwa sejarah barangkali hijrah hanya terjadi sekali. Tapi hijrah sebagai strategi, taktik, dan gerakan akan terus diperlukan dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda. Karena itu nilai yang terkandung di dalam peristiwa hijrah tetap relevan untuk dijadikan referensi kehidupan.

Ada beberapa hal yang dapat dijadikan pelajaran dibalik peristiwa hijrah ini guna diaplikasikan dalan kehidupan sekarang dan masa akan datang. Pertama, prolog hijrah itu dan pelaksanaannya mengandung semangat perjuangan, kesabaran, keuletan, dan sifat heroik lainnya. Sedangkan epilognya adalah waktu yang relatif singkat, hanya dalam tempo sepuluh tahun, sudah berhasil mengibarkan panji-panji kemenangan Islam. Kedua, peristiwa hijrah ini merupakan pegangan kuat guna menancapkan pondasi besar untuk merubah keadaan dari yang buruk menjadi baik dan berkembang. Berkenaan dengan itu, Khalifah umar Bin Khattab menegaskan, “Hijrah itu memisahkan antara yang haq dan yang bathil. Oleh karena itu abadikanlah dalam rangkaian sejarah.”


Hijrah Bagi Bangsa Indonesia

Tanggal 20 Oktober 2014 kemarin manjadi babak baru bagi bangsa Indonesia dan menjadi sejarah baru bagi presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) yang resmi dilantik sebagai Presiden Indonesia untuk lima tahun ke depan. Sebagai rakyat, tentunya banyak sekali harapan yang ditunjukan kepada presiden baru untuk bisa membawa “perubahan” bagi bangsa Indonesia kearah yang lebih baik.

Untuk saat ini, terutama kita di Indonesia, hijrah fisik rasanya sudah selesai, yang dibutuhkan adalah hijrah hati dan tingkah laku. Banyak hal yang perlu dibenahi bangsa ini, dari mulai korupsi, kemaksiatan, pembunuhan, perkelahian antar suku dan kampung, rakus kepada harta dan kedudukan, dan lain sebagainya. Hukum harusnya ditegakkan kepada siapapun yang melakukan pelanggaran, tapi sayangnya sekarang ini masih terkesan tebang pilih tergantung siap sekarang ini yang berkuasa. Berkenaan dengan itu dibutuhkan hijrah besar, di mana seseorang berani menyatakan yang hak itu adalah benar dan yang bathil itu adalah salah.

Dalam konteks ini, seharusnya segala sesuatu yang bertentangan dengan hukum dan undang-undang yang berlaku perlu tindakan tegas, karena ini memang sudah menjadi kewajiban dan tangggung jawab pengendali negeri ini. Jangan lagi mau didikte oleh pihak lain. Yakinlah kepada kemampuan diri sendiri, karena tanpa itu selamanya kita tidak akan menjadi besar dan akan terus terombang ambing dalam gelombang ketidakpastian.

Jadikanlah momen tahun baru Islam ini sebagai langkah awal untuk memacu dan memicu bangsa ini kearah yang jauh lebih baik. Ada pepatah mengatakan, di mana ada kemauan di situ ada jalan. Memang tidak mudah, penuh onak dan duri, namun sedikitpun semangat tidak boleh kendur. Gelorakan terus semangat berhijrah dan yakinlah Allah akan selalu member kemenangan kepada orang-orang yang berada di jalannya.

Maka dari itu, dengan semangat tahun baru Hijriah ini kita kembalikan makna Hijrah sebenarnya. Kita jadikan Islam sebagai pedoman dalam kehidupan kita karena Islam sebagai ajaran yang universal yang mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Ketika Syariat itu sudah terinternalisasi dari kehidupan kita, maka Allah ajja wa jalla akan menurunkan rahmat-Nya. Sebagaimana firman-Nya :

Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS. Al-‘Araf 7: 96)”

Oleh : Irfan Kurniawan (Dewan Ta'dib Regional PW PII NTB)

Featured

[Featured][recentbylabel2]

Featured

[Featured][recentbylabel2]

STRUKTUR ORGANISASI

ARI SEPTIAWAN

Ketua Umum Pengurus Wilayah Pelajar Islam Indonesia Nusa Tenggara Barat Periode 2023-2025

GINA HAEROUMMAH

Ketua I Bidang Kaderisasi

AHMAD FAHREZI

Ketua II Bidang Pengembangan dan Pemberdyaan Organisasi

ARYA NAQSABANDI

Ketua III Bidang Komunikasi Ummat

ABIYYUZAKI SYUKRON

Sekretaris Umum

IKHSAN MAULANA

Bendahara Umum

UMMARROH ANSYARIAH

Ketua BO KOORWIL PII Wati

SAFIRA RAHMAH

Sekretaris dan Bendahara BO

BAIQ RIA HIDAYATI

Kadiv Kajian Isu Strategis dan Eksternal

Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done